Senin, 20 Maret 2017

Makalah AL-QUR'AN HADITS (AHLAK TERPUJI II)



AKHLAQ TERPUJI II

MAKALAH
DisusununtukmemenuhiTugas Mata Kuliah
Al-Qur’an Hadits II

Dosenpengampu:
Addin Arsyadana, M. Pd. I


 

Disusun oleh:

                    Ma’ma Mumajad                     (932135616)
Ahmad Fadillah                        (932103216)
Tanya Fawzi                            (932116916)


Semester/Kelas: 2C
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KEDIRI
2017

PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Setiap muslim hendaklah memiliki akhlaq terpuji. Akhlaq terpuji itu sangatlah banyak sekali diantaranya yaitu etika dalam pergaulan, tanggung jawab, fastabiqul khoirot, giat bekerja dan sederhana. Yang pertama adalah etika dalam pergaulan yaitu kita harus memiliki etika didalam pergaulan diantaranya yaitu memilih teman yang baik akhlaqnya, dapat dipercaya, tidak membuka aib orang lain, serta menjaga persatuan.
Setiap muslim harus memiliki sikap tanggung jawab. Tanggung jawab seseorang ada dua yaitu tanggung jawab pada diri sendiri serta tanggung jawab dalam kehidupan bermasyarakat.Sikap lain yang harus dimiliki seorang muslim yaitu fastabiqul khoirot atau berlomba-lomba dalam hal kebaikan. Yaitu berlomba-lomba untuk menjadi orang paling bertaqwa dihadapan Allah SWT. serta mengharap ridho Allah SWT. dalam Al-Qur’an dan hadits juga dijelaskan anjuran untuk berlomba-lomba dalam hal kebaikan.
Setiap muslim hendaklah memiliki sikap giat bekerja. Kita tidak boleh bersikap bermalas-malasan. Islam membenci seorang muslim yang suka bermalas-malasan, pengangguran dan meminta-minta. Kita dilarang meminta-minta selama kita masih memiliki kemampuan untuk bekerja. Dalam Al-Qur’an dan hadits juga dijelaskan bahwa tangan diatas lebih baik daripada tangan dibawah. Hal itu menandakan bahwa kita harus memiliki sikap giat bekerja.Setiap muslim harus memiliki sikap sederhana dan tidak berlebih-lebihan. Kita tidak boleh boros dalam membelanjakan harta. Serta kita dianjurkan untuk bersedekah. Dalam Al-Qur’an dan hadits juga dijelaskan agar kita memiliki sikap sederhana dan tidak berlebih-lebihan. Oleh sebab itu, begitu pentingnya akhlaq terpuji tersebut, berikut akan dibahas secara rinci tentang akhlaq terpuji etika dalam pergaulan, tanggung jawab, fastabiqul khoirot, giat bekerja dan sederhana.
B.       Rumusan Masalah

1.         Bagaimana etika dalam pergaulan?
2.         Apa yang dimaksud dengan sikap tanggung jawab?
3.         Apa yang dimaksud dengan fastabiqul khoirot?
4.         Apa yang dimaksud dengan giat bekerja?
5.         Apa yang dimaksud dengan sikap sederhana?

C.      Tujuan

1.         Untuk mengetahui bagaimana etika dalam pergaulan.
2.         Untuk mengetahui bagaimana bersikap tanggung jawab.
3.         Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan fastabiqul khoirot dan bagaimana menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
4.         Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan sikap giat bekerja.
5.         Untuk mengetahui sikap sederhana.











PEMBAHASAN

A.      Etika Dalam Pergaulan
Anjuran untuk beretika juga terdapat pada Al-Qur’an dan hadits. Etika dalam pergaulan yang pertama adalah dalam hal memilih teman. Abu hurairah R.A meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda:
الرَّجُلُ عَلَى دِيْنِ خَلِيْلِهِ فَلْيَنْظُرْأَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
Artinya: “Seseorang itu bergantung pada agama teman akrabnya. Maka hendaklah salah seorang di antara kamu memperhatikan siapa yang dia jadikan teman akrab.”(HR. At-Tirmidzi).[1]
Maksudnya, seseorang itu mengikuti kebiasaan, cara hidup dan perilaku sahabatnya. Maka hendaknya dia memperhatikan dan merenungkan siapa yang dijadikan sebagai sahabatnya. Orang yang baik agama dan akhlaknya, hendaknya dia jadikan sebagai sahabat dan tidak dijauhi.
Dampak negatif dari teman yang buruk adalah nyata (riil) dan tak terelakkan, betapapun kerasnya upaya untuk menghindarinya. Karena hal itu sudah disabdakan oleh Nabi SAW. Abu Musa Al-Asy’ari R.A meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda:
مَثَلُ الْجَلِيْسِ الصَّالِحِ وَالسُّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيْرِ فَحَامِلُ الْمِسْكِ اِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ وَاِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ وَاِمَّاأَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيْحًا طَيِّبِةُ وَنَافِخُ الْكِيْرِ اِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ وَ اِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيْحًا خَبِيْثَةً.
Artinya: “perumpamaan teman duduk yang baik dan yang buruk ialah seperti pembawa minyak kasturi (misik) dan peniup cerobonh api. Pembawa minyak kasturi adakalanya memberimu dan adakalanya engkau membeli darinya atau engkau mendapatkan aroma yang harum darinya. Sedangkan peniup cerobong api adakalanya membakar pakaianmu dan adakalanya engkau mendapatkan bau yang busuk. (HR. Al-Bukhari).[2]
Anjuran untuk beretika dalam pergaulan juga dijelaskan dalam Al-Qur’an yaitu pada surah al-Hujurat (49): 10-13.
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلا تَنَابَزُوا بِالألْقَابِ بِئْسَ الاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الإيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلا تَجَسَّسُوا وَلا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ. يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ.
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang mukminadalahbersaudarakarenaitudamaikanlahantarakeduasaudaramudanbertakwalahkepada Allah supayakamumendapatrahmat.(Q.S al-Hujurat [49]:10)
Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-burukpanggilanialah (panggilan) yang buruksesudahimandanbarangsiapa yang tidakbertobat, makamerekaitulah orang-orang yang lalim.(QS. Al-Hujurat [49]:11)
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakahsalahseorang di antarakamumemakandagingsaudaranya yang sudahmati? Makatentulahkamumerasajijikkepadanya. Dan bertakwalahkepada Allah. Sesungguhnya Allah MahaPenerimatobatlagiMahaPenyayang.(QS. Al-Hujurat [49]: 12)
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antarakamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antarakamu. Sesungguhnya Allah MahaMengetahuilagiMahaMengenal.(QS. Al-Hujurat [49]:13)[3]
Pada ayat 10, Allah menegaskan bahwa walaupun orang-orang mukmin itu berbeda-beda bangsa, etnis, bahasa, warna kulit dan adat kebiasaannya serta stratifikasi sosialnya, namun mereka adalah satu dalam persaudaraan Islam. Persaudaraan yang kokoh diantara kaum muslimin dibutuhkan akhlak atau moral yang melandasi sikap dan perilaku mereka.[4]
Kandungan ayat 11 merupakan konsekuensi logis dari ayat 10, yaitu Allah menegaskan bahwa umat Islam tidak boleh saling mengolok-olokkan. Karena perilaku tersebut dapat menimbulkan kemarahan orang lain, atau merasa dihina sehingga akan menimbulkan pertengkaran dan perkelahian. Allah SWT juga melarang orang-orang mukmin untuk mencela dirinya sendiri, yang sebagian mufassir mengartikan melarang mencela saudara mukmin lainnya.[5]
Dalam ayat 12 ini, masih dalam kerangka membina persaudaraan orang-orang mukmin, Allah SWT melarang orang-orang yang beriman cepat berprasangka. Sebab sebagian dari prasangka adalah dosa yang harus dijauhi. Disamping itu juga mencari-cari kesalahan orang lain menggunjing atau ghibah. Oleh karena itu Allah memerintahkan orang beriman untuk senantiasa bertaqwa.
QS. Al-Hujurat ayat 13 ini menegaskan kepada semua manusia bahwa ia diciptakan Allah SWT dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. Allah maha Kuasa dan Pencipta yang baik. Menciptakan manusia secara pluralistik, berbangsa, bersuku yang bermacam-macam dengan keanekaragaman dan kemajemukan manusia bukan untuk berpecah belah, saling merasa paling benar, melainkan untuk saling mengenal, bersilaturrahmi, berkomunikasi saling memberi dan menerima.[6]
Dalam etika pergaulan kita harus menghormati orang yang lebih tua. Abu Musa ra. Mengemukakan, Nabi Muhammad Rasulullah saw. bersabda, “yang termasuk perbuatan mengagungkan Allah SWT, adalah: menghormati orang yang sudah tua, menghormati orang yang hafal Al Qur’an yang tidak sombong dan menghormati penguasa yang berlaku adil”.(HR. Abu Dawud). Anjuran untuk menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang muda yaitu dari Ubaidah bin Shomad ra. Memberitahukan, Nabi Muhammad Rasulullah saw. bersabda, “Bukanlah termasuk umatku orang yang tidak mau menghormati orang yang lebih tua, dan orang-orang berilmu, tidak menyayangi orang-orang yang masih kecil (lebih muda)”. (HR. Achmad, dan Thobroni).[7] Dalam hadits lain juga diceritakan dari Ibnu Abbas, dan dia merafa’kannya kepada Nabi, beliau bersabda:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ يَرْفَعُهُ اِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يُوَقِّرْ الْكَبِيْرَ وَيَرْحَمُ الصَّغِيْرَ وِيَأْمُرْ بِاالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ (رواه احمد)
Dari Ibnu Abbas, dan dia merafa’kannya kepada Nabi beliau bersabda: “Bukan termasuk golongan kami orang tidak menghormati yang lebih besar dan tidak menyayangi yang lebih kecil serta tidak menyuruh kepada kebaikan dan melarang yang mungkar” (HR. Ahmad).[8]
Hindari Prasangka dan mencari keburukan orang lain. Seperti dalam hadits dari Abu Hurairah ra. Menyatakan, Nabi Muhammad Rasulullah saw bersabda:
إِيَّاكُمْ وَ الظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ وَلاَ تَجَسَّسُوا وَلاَ تَحَسَّسُوا.
 “Hindari prasangka, karena prasangka itu berita yang paling bohong. Dan janganlah kamu mencari-cari aib orang dan jangan pula memata-matainya.” (HR. Muslim).[9]
Dilarang berbohong dalam bercanda. Seperti dalam hadits Nabi Muhammad Rasulullah saw. bersabda, “Celakalah orang yang karena ingin ditertawakan orang lain, lalu berbicara bohong, celakalah orang itu. Celakalah dia”. (HR. Tirmidzi).
Anjuran untuk mengadakan kebiasaan yang baik. Seperti dalam hadits Nabi Muhammad Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa yang mengadakan dalam Islam kebaikan baik, maka dia memperoleh pahala dan mendapatkan bagian pahala yang turut mengamalkannya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka. Dan barang siapa dalam Islam mengadakan kebiasaan buruk, maka ia berdosa dan mendapatkan dosa-dosa dari orang-orang yang mengikuti kebiasaan jelek tersebut, tanpa mengurangi dosa mereka”.(HR. Muslim)
Menjauhi sesuatu yang tidak penting. Abu hurairah ra. Mengatakan, Nabi Muhammad Rasulullah saw. bersabda, “Diantara tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak penting baginya”. (HR. Tirmidzi).[10]

B.       Tanggung Jawab
Setiap manusia harus memiliki rasa tanggung jawab, rasa tanggung jawab itu harus disesuaikan dengan apa yang telah dilakukan. Arti dari tanggung jawab menurut KBBI adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya. Sehingga bertanggung jawab menurut kamus umum bahasa Indonesia adalah berkewajiban memikul, menanggung segala sesuatunya, dan menanggung jawab segala akibatnya. Tanggung jawab adalah ciri manusia yang beradab. Manusia merasa bertanggung jawab karena ia menyadari akibat baik atau buruk perbuatannya itu, dan menyadari pula bahwa pihak lain memerlukan pengadilan atau pengorbanan.[11] Ada dua tanggung jawab yang harus dilakukan oleh manusia yaitu:
a.     Tanggung Jawab Manusia Sebagai Individu
Pada dasarnya, keberadaan manusia ditentukan dengan kehendak Allah SWT. manusia dibekali oleh Allah SWT. dengan berbagai potensi yang dimilikinya, diantaranya nafs atau jiwa sadar. Abu A’la Al-Maududi menyatakan bahwa nafs manusia ada tiga tingkatan, yakni pertama, nafs ammarah, yaitu jiwa yang mudah terpengaruh bisikan hati yang sama-sama dimiliki manusia dan binatang. Dengan nafs ammarah ini, manusia memiliki ambisi dan emosi untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan hidupnya. Kedua, nafs lawwamah, yaitu jiwa yang berhati-hati atau sadar secara moral untuk berjuang meraih kebaikan dan menolak perbuatan jahat. Ketiga adalah nafs muthma’innah, yaitu jiwa yang selaras secara sempurna dengan kehendak Allah SWT. yakni jiwa yang rela pada aturan Allah SWT. dan mendapatkan keridaan-Nya karena senantiasa tunduk pada aturan tersebut. Pembagian tersebut berpijak pada keterangan QS. Yusuf: 53.
وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لأمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلا مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ.
Artinya:“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[12]
Dalam beberapa ayat Al-Qur’an, Allah SWT. berbicara tentang tanggung jawab pribadi, diantaranya dalam surah Maryam:93-95, Allah SWT. berfirman:
إِنْ كُلُّ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ إِلا آتِي الرَّحْمَنِ عَبْدًا. لَقَدْ أَحْصَاهُمْ وَعَدَّهُمْ عَدًّا. وَكُلُّهُمْ آتِيهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَرْدًا.
Artinya:Tidakadaseorang pun di langitdan di bumi, kecualiakandatangkepadaTuhan Yang MahaPemurahselakuseoranghamba.Sesungguhnya Allah telahmenentukanjumlahmerekadanmenghitungmerekadenganhitungan yang teliti.Dan tiap-tiapmerekaakandatangkepada Allah padaharikiamatdengansendiri-sendiri.”[13]

Dalam surah lain, QS. Al-An’aam: 94. Allah SWT. berfirman:
وَلَقَدْ جِئْتُمُونَا فُرَادَى كَمَا خَلَقْنَاكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَتَرَكْتُمْ مَا خَوَّلْنَاكُمْ وَرَاءَ ظُهُورِكُمْ وَمَا نَرَى مَعَكُمْ شُفَعَاءَكُمُ الَّذِينَ زَعَمْتُمْ أَنَّهُمْ فِيكُمْ شُرَكَاءُ لَقَدْ تَقَطَّعَ بَيْنَكُمْ وَضَلَّ عَنْكُمْ مَا كُنْتُمْ تَزْعُمُونَ.
Artinya: ”Dan sesungguhnya kamu datang kepada Kami sendiri-sendiri sebagaimana kamu Kami ciptakan pada mulanya, dan kamu tinggalkan di belakangmu (di dunia) apa yang telah Kami kurniakan kepadamu; dan Kami tiada melihat besertamu pemberi syafaat yang kamu anggap bahwa mereka itu sekutu-sekutu Tuhan di antara kamu. Sungguhtelahterputuslah (pertalian) antarakamudantelahlenyapdaripadakamuapa yang dahulukamuanggap (sebagaisekutu Allah)”.[14]
Jadi, keberadaan manusia, baik dihadapan Allah SWT. maupun dihadapan sesama manusia, banyak ditentukan oleh potensi dan kualitas dirinya dalam menjalani hidupnya dan mampu membuktikan dalam beramal, baik secara khusus kepada Allah SWT. sebagai penciptanya maupun pada lingkungannya sebagai anggota masyarakat. Ia mampu berkiprah untuk menjadi seorang manusia yang bermanfaat bagi dirinya dan lingkungannya. Itulah ciri orang yang memahami tanggung jawab terhadap dirinya sendiri.[15]

b.    Tanggung Jawab Manusia Sebagai Makhluk Sosial
Manusia senantiasa bergantung kepada orang lain sehingga ia dituntut untuk hidup bersama secara damai dalam bimbingan Allah SWT. oleh karena itu, setiap pribadi bertanggung jawab untuk memperbaiki perilakunya, baik lahir maupun batin, lalu perilaku keluarganya bagi yang telah berkeluarga dengan memperhatikan pendidikan istri dan anak-anaknya, baik yang berkaitan dengan aspek jasmani maupun rohani. Rasulullah SAW. bersabda dalam sebuah haditsnya:
عَنْ أَبِيْ سَعِيْدِ الْخُدْرِيِّ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّي اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. يَقُوْلُ: مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ وَ إِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيْمَانِ. (رواه مسلم و أحمد وابن ماجه)
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri, ia berkata, ‘saya mendengar Rasulullah SAW. bersabda, ‘Barangsiapa yang melihat kemunkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya,lalu jika ia tidak mampu, maka dengan lisannya, lalu jika ia tidak mampu, maka dengan hatinya. Dan hal terakhir ini merupakan selemah-lemahnya iman”.
Pada intinya hadits ini membawa pesan bahwa seorang muslim harus merasakan pahit dan manisnya hidup bermasyarakat. Ia tidak dibenarkan untuk mempunyai sikap tak peduli terhadap lingkungannya. Al-Qur’an menekankan kebersamaan anggota masyarakat, yaitu tercapainya tujuan hidup bersama.[16]

C.      Fastabiqul Khoirot
Allah menciptakan manusia untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. Ternyata manusia memang harus berkompetisi, yaitu sebuah kompetisi melakukan yang terbaik dalam jalan yang telah dipilihkan oleh Allah untuknya. Setiap orang memiliki caranya tersendiri dalam berjuang. Itulah kehebatan Allah SWT. Dia dzat yang tidak mengenal parameter duniawi dalam melakukan penilaian. Manusia dinilai dari caranya berjuang dalam kehidupan dunia yang telah dipilihkan oleh-Nya. Ketika kita melihat menengok sejarah Islam, ‘Umar bin Khattab, selalu menganggap Abu Bakar sebagai rekan kompetisinya. ‘Umar selalu berusaha untuk lebih unggul dari Abu Bakar dalam amal dan pengorbanan.
Demikianlah para sahabat, dan masih banyak lagi para as-salafus-salihin yang pantas kita jadikan teladan guna menapaki kehidupan ini. Mereka berkompetisi guna menjadi yang terbaik di hadapan Allah. Ternyata menjadi kompetitif itu perlu, kompetisi yang sesuai dengan porsinya. Kompetisi dalam kebaikan.[17] Anjuran untuk berlomba-lomba dalam halkebaikan juga dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Hadits. Dalam Al-Qur’an seperti dalam QS. Al-Baqarah [2]: 148
وَلِكُلٍّ وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيهَا فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ أَيْنَمَا تَكُونُوا يَأْتِ بِكُمُ اللَّهُ جَمِيعًا إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ.
Artinya:Dan bagitiap-tiapumatadakiblatnya (sendiri) yang iamenghadapkepadanya. Makaberlomba-lombalahkamu (dalamberbuat) kebaikan. Di manasajakamuberadapasti Allah akanmengumpulkankamusekalian (padaharikiamat). Sesungguhnya Allah MahaKuasaatassegalasesuatu.”
Secara umum ayat ini dapat dipahami sebagai dorongan kepada umat Islam untuk selalu berlomba-lomba dalam kebaikan. Pada ayat ini, Allah menerangkan bahwa bagi setiap pemeluk suatu agama mempunyai kiblatnya sendiri-sendiri. Tentunya kiblat itulah yang menjadi kecenderungan mereka untuk menghadap sesuai dengan keyakinan mereka. Dan kaum muslimin mempunyai kiblat yang ditetapkan langsung oleh Allah yaitu ka’bah.
Dalam ayat ini, Allah memerintah umat Islam untuk senantiasa berlomba-lomba dalam mengerjakan kebaikan (fastabiqul khairat). Menghadap ke kiblat (ka’bah) bukanlah tujuan tapi harus dipahami bahwa umat Islam adalah satu. Dan kandungan ayat ini yang dapat kita ambil maknanya adalah hendaknya kita giat bekerja serta berlomba dalam segala bentuk kebaikan baik salat, bersedekah, menuntut ilmu, dan amalan-amalan positif yang lain. Dampak positif yang dihasilkan dari kompetisi dalam kebaikan yaitu terciptanya kondisi kehidupan yang dinamis, maju dan senantiasa bersemangat untuk berkreasi dan berinovasi.
Ayat ini juga menjelaskan bahwa saatnya nanti, Allah SWT akan mengumpulkan semua manusia, di manapun dan dari arah manapun mereka berada. Tidak ada seorang pun yang luput dan lepas dari pengawasan Allah SWT, yaitu pada saat manusia menjalani kehidupan di alam akhirat. Mereka akan diperlihatkan semua amal baik atau buruk yang pernah dilakukan pada saat hidup di dunia dan semua akan mendapat balasan sesuai dengan amalnya masing-masing.[18]
Dalam surah lain juga dijelaskan yaitu pada QS. Fatir [35]: 32
ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ.
Artinya:KemudianKitabitu Kami wariskankepada orang-orang yang Kami pilih di antarahamba-hamba Kami, lalu di antaramerekaada yang menganiayadirimerekasendiridan di antaramerekaada yang pertengahandan di antaramerekaada (pula) yang lebihdahuluberbuatkebaikandenganizin Allah. Yang demikianituadalahkarunia yang amatbesar.”
Secara global ayat ini menerangkan bahwa Allah SWT. telah menurunkan Al-Qur’an kepada Rasulullah untuk digunakan sebagai pedoman hidup bagi umatnya. Namun, dalam realita kehidupan di antara umat Islam ada berbagai macam sikap dalam mengambil Al-Qur’an sebagai pedoman hidup. Sikap-sikap mereka ini diantaranya disebutkan dalam Al-Qur’an surah Al-Fatir ayat 32 berikut ini.
1.      Kelompok pertama adalah ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ(mereka yang mendholimi dirinya sendiri), yaitu orang yang meninggalkan perintah-perintah Allah dan mengerjakan berbagai perkara yang diharamkan.
2.      Kelompok kedua مُقْتَصِدٌ(mereka bersikap pertengahan), yaitu mereka disamping melaksanakan kewajiban-kewajiban dan menjauhi larangan-larangan. Namun, terkadang mereka ini meninggalkan perkara-perkara yang disunahkan dan melakukan perkara-perkara yang di makruhkan.
3.      Kelompok ketiga سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِyaitu mereka yang bersikap segera melakukan kebaikan-kebaikan dengan izin Allah. Golongan ini senantiasa mengerjakan perbuatan yang diwajibkan dan disunahkan serta menjauhi perkara yang diharamkan dan dimakruhkan.[19]

Ar-Razi menafsirkan bahwa zalimun linafsih adalah orang yang lebih banyak kesalahannya, sedangkan muqtasid (tengah) adalah orang yang seimbang antara kesalahan dan kebaikannya. Adapun sabiqun nin khairat adalah orang yang lebih banyak kebaikannya.[20]
Selanjutnya dijelaskan pula untuk berlomba-lomba dalam hal kebaikan yaitu pada surah An-Nahl [16]: 97).
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ.
Artinya:Barangsiapa yang mengerjakanamalsaleh, baiklaki-laki maupun perempuandalamkeadaanberiman, makasesungguhnyaakan Kami berikankepadanyakehidupan yang baikdansesungguhnyaakan Kami beribalasankepadamerekadenganpahala yang lebihbaikdariapa yang telahmerekakerjakan.”
Pada ayat di atas Allah menjelaskan akan memberikan kehidupan yang sejahtera kepada siapapun, baik laki-laki maupun perempuan, apabila mereka mau beriman dan beramal saleh. Dan balasan Allah bernilai lebih tinggi daripada yang dikerjakan. Ada beberapa pendapat ahli tafsir dalam memahami ungkapan  حَيَاةٌ طَيِّبَةٌdiantaranya adalah:
1). Menurut Ibnu Kasir bahwa yang disebut dengan hayyatan toyyiban adalah ketentraman jiwa.
2). Ibnu Abbas menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan hayatan toyyiban adalah hidup sejahtera dan bahagia dengan rezeki yang halal dan baik (bermutu gizinya).
3). Adapun menurut Ali bin Abi thalib yang dinamakan hayatan toyyiban adalah kehidupan yang disertai qana’ah (menerima dengan suka hati) terhadap pemberian Allah.[21]

D.      Giat Bekerja
Islam adalah akidah, syariah dan amal. Namun, amal meliputi ibadah, ketaatan, serta kegiatan dalam usaha mencari rizki, mengembangkan produktivitas dan kemakmuran. Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla menyuruh para hamba-Nya supaya bekerja dan berusaha di muka bumi untuk memperoleh rezeki. Agama Islam tidak menghendaki para pemeluknya menjadi orang yang malas dan memandang bahwa bekerja adalah perbuatan yang jelek dan hanya mendatangkan siksa baginya. Mereka lupa bahwa bahagia dan nikmat Allah ada dalam bekerja. Islam mendidik pengikutnya agar cinta bekerja serta menghargai pekerjaan sebagai kewajiban dalam kehidupannya. Islam menganjurkan bekerja karena bekerja merupakan latihan kesabaran, ketekunan, keterampilan, kejujuran, dan pendayagunaan pikiran. Islam membenci pengangguran, kemalasan, dan kebodohan karena hal itu merupakan maut yang lambat laun akan mematikan semua daya kekuatan dan menjadi sebab kerusakan dan keburukan.[22]
Allah SWT. berfirman dalam QS. Al-Jumu’ah [62]: 9-11.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ.فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الأرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ.وَإِذَا رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ لَهْوًا انْفَضُّوا إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَائِمًا قُلْ مَا عِنْدَ اللَّهِ خَيْرٌ مِنَ اللَّهْوِ وَمِنَ التِّجَارَةِ وَاللَّهُ خَيْرُ الرَّازِقِينَ.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”(QS. Al-Jumu’ah [62]: 9).
“Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”(QS. Al-Jumu’ah [62]: 10).
“Dan apabilamerekamelihatperniagaanataupermainan, merekabubaruntukmenujukepadanyadanmerekatinggalkankamusedangberdiri (berkhutbah). Katakanlah: "Apa yang di sisi Allah adalahlebihbaikdaripadapermainandanperniagaan", dan Allah Sebaik-baikPemberirezeki.”(QS. Al-Jumu’ah [62]: 11).[23]
QS. Al-Jumu’ah ayat 9 ini berkenaan dengan seruan Allah SWT. kepada orang-orang yang beriman agar mendirikan sholat jum’at. Serta kalau sudah waktunya salat jum’at hendaklah segala macam kesibukan seperti jual beli, perniagaan segera ditinggalkan. Pada ayat 10 surah Al-Jumu’ah, Allah SWT melanjutkan seruannya setelah mengerjakan sholat segeralah mencari karunia Allah boleh kembali bertebaran di muka bumi. Pada ayat 11 diawali dengan pernyataan Allah tentang sikap sebagian orang-orang mukmin yang masih silau dengan perniagaan. Kemudian Allah mengingatkan bahwa apa yang ada disisi Allah adalah lebih baik daripada permainan dan perdagangan. Keridhaan dari pahala Allah jauh lebih baik daripada yang diusahakan manusia.[24]
Seorang muslim yang memiliki kepribadian qur’ani pastilah akan menunjukkan etos kerja dengan cara bersikap dan berbuat serta menghasilkan segala sesuatu dengan bersungguh-sungguh. Dengan etos kerja yang bersumber dari keyakinan qur’ani ada semacam keterpanggilan yang sangat kuat dalam dari lubuk hatinya untuk bekerja dengan hasil yang terbaik. Karena etos kerja berkaitan dengan nilai kejiwaan seseorang, hendaknya setiap pribadi muslim harus mengisinya dengan kebiasaan-kebiasaan yang positif, dan menghasilkan pekerjaan yang terbaik, sehingga nilai-nilai Islam yang diyakininya dapat diwujudkan.
Secara hakiki, bekerja bagi seorang muslim adalah “ibadah”, bukti pengabdian dan rasa syukurnya untuk mengolah dan memenuhi panggilan Ilahi agar mampu menjadi yang terbaik karena mereka sadar bahwa bumi diciptakan sebagai ujian bagi mereka yang memiliki etos kerja yang terbaik.[25]
Anjuran untuk giat bekerjaterdapat dalam hadits yaitu Rasulullah SAW. berkata:
مَنْ اَكَلَ اَحَدٌ طَعَامًا قَدُّ خَيْرًا مَنْ اَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَاِنَّ نَبِيَّ اللهَ دَاوُدُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ.
Artinya: “Tidak ada orang yang makan-makanan yang lebih baik daripada hasil pekerjaan tangannya sendiri. Dan sesungguhnya Nabi Allah Daud a.s makan dari hasil pekerjaannya sendiri.”
اِنَّ اَطْيَبَ مَا اَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ.
Artinya: “Sesungguhnya sebaik-baik yang dimakan seseorang ialah dari hasil pekerjaannya sendiri.”
مَنْ سَأَلَنَا اَعْطَيْنَاهُ وَمَنِ اسْتَغْنَى اَغْنَاهُ اللهُ وَ مَنْ لَمْ يَسْأَلْنَا فَهُوَ اَحَبُّ اِلَيْنَا.
Artinya: “ Barangsiapa meminta kepada kami, ia akan kami beri, dan barang siapa yang mencukupi keperluannya sendiri, ia diberi kecukupan oleh Allah, dan barangsiapa tidak meminta kepada kami, ia lebih kami sukai.”[26]

E.       Sederhana
Anjuran untuk hidup sederhana banyak dijelaskan dalam Al-Qur’an dan hadits. Seperti dalam QS. Al-Furqan [25]: 67 yaitu:
وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا
Artinya: “Dan orang-orang yang apabilamembelanjakan (harta), merekatidakberlebih-lebihan, dantidak (pula) kikir, danadalah (pembelanjaanitu) di tengah-tengahantara yang demikian.
Al-Infaq atau al-Nafaqah, di dalam Al-Qur’an secara umum mempunyai arti mempergunakan dan membelanjakan harta baik untuk kepentingan negatif dan melanggar hukum agama maupun yang bersifat positif seperti memberikan nafkah kepada keluarga. Al-Israf merupakan bentuk mashdar dari kata asrafa yang dalam pengertian mengacu kepada segala bentuk perbuatan yang melampaui batas kewajaran. Sedangkan secara terminologi tidak hanya terpaku dalam hal membelanjakan harta saja, tetapi segala bentuk tindakan yang tidak wajar seperti makan, minum dan berpakaian yang tidak wajar juga disebut israf.[27]
Al-Iqtar artinya menahan diri dari kewajiban memberi nafkah dan santunan kepada yang berhak mendapatkannya. Atau biasa disebut dengan bakhil, kikir, pelit. Hal tersebut merupakan karakteristik yang dominan dimiliki oleh manusia, kalau rezeki yang diterima sedikit ia mengeluh, namun apabila dikasih rezeki yang banyak mereka enggan berbagi. Barang siapa mampu menjauhkan diri dari dan memelihara hatinya dari sifat jelek ini, Allah menjanjikan baginya keberuntungan hidup di dunia dan akhirat. Ayat ini secara tekstual menuntut kita untuk berlaku bijak dalam membelanjakan harta, tidak terlalu royal dan tidak terlalu pelit. Tetapi secara makro ayat ini mengajarkan kesederhanaan dalam hidup, kewajaran dalam bersikap, termasuk kesederhanaan dan keseimbangan dalam memahami dan mengamalkan tuntunan agama.[28]
Dalam rangka memberikan tuntunan berinfaq dan bershodaqoh dengan wajar dan sederhana, Al-Qur’an menggunakan terminologi  qawaman, yang secara bahasa merupakan pengembangan dari kata qama yang mengandung arti berdiri, tegak dan lurus. Maka kesederhanaan dan kewajaran dalam segala hal menjadi sebuah keharusan untuk menjaga keharmonisan dan keseimbangan hidup seseorang.[29]
Dijelaskan pula dalam QS. Al-Isra’[17]: 29-30 yaitu:
وَلا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ
فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا.إِنَّ رَبَّكَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ إِنَّهُ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيرًا بَصِيرًا.
Artinya: “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal. Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya; sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.”
Sama halnya dengan kandungan QS. Al-Furqan [25]: 67, ayat ini juga menyebutkan dua karakter yang berbeda dalam mensikapi harta. Yang satu sangat royal dan berlebihan dalam membelanjakan hartanya, dan satu sisi yang lain sangat pelit dalam membelanjakan hartanya. Dan keduanya merupakan karakter yang tercela dan tidak terpuji. Orang yang tidak mau berbagi dan menolong orang lain digambarkan dalam ayat ini seperti orang yang tangannya diikat di lehernya sehingga tidak bisa bergerak dan berbuat apa-apa.
Allah melarang kita membelanjakan harta secara berlebihan dan diluar batas kewajaran termasuk dalam bersedekah. Bersedekah dan berinfaq sangat dianjurkan tetapi yang paling baik adalah sesuai dengan ketentuan syariat Islam. Apa yang dimiliki manusia akan habis dan lenyap, sedangkan apa yang dimiliki Allah selamanya akan kekal dan tidak akan lenyap. Kekuasaan Allah untuk memberi dan tidak kepada siapa yang dikehendaki, tetapi secara kontekstual sebenarnya mengajarkan kita tata cara pengelolaan kekayaan dan manajemen anggaran. Artinya Allah sebagi Dzat yang Maha Kaya tidak akan menghamburkan kepada semua manusia yang kekayaannya akan lenyap dan habis. Manusia tidak mungkin hidup sendiri, maka Islam melarang kikir dan bakhil, serta berperilaku melampaui batas dan terkesan boros.[30]
Perintah untuk berhemat, hidup sederhana dan bersahaja tidak hanya berlaku di dalam membelanjakan harta, tetapi di dalam semua aktifitas Islam juga mengedepankan prinsip kewajaran dan kesederhanaan. Seperti pesan yang terdapat di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan juga disebutkan Imam Bukhari tentang etika makan, minum, berpakaian, dan bersedekah:
كُلْ وَاشْرَبْ وَالْبَسْ وَ تَصَدَّقْ فِى غَيْرِ سَرَفٍ وَ لَا مَخِيْلَةٍ.
Artinya: “Makanlah, minumlah, berpakaianlah dan bersedekahlah dengan tidak melampaui batas dan tidak menyombongkan diri.”[31]
Larangan israf berlaku untuk semua perbuatan kapan pun dan di mana pun, termasuk di dalam urusan ibadah, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Majah dari Abdullah bin Amr berikut ini:
أًنَّ رَسُوْ لَ الله صلى الله عليه وسلم مَرَّ بِسَعْدٍ وَهُوَ يَتَوَضَّأْ, فَقَا لَ: مَا هَذَا السَّرَفُ؟ فَقَالَ: أَفِي الْوُضُوْءِ إِسْرَافٌ؟ قَالَ: نَعَمْ, وَإِنْ كُنْتَ عَلَى نَهْرٍ جَارٍ. (رواه ابن ماجه)
Artinya: “Bahwasanya rasulullah SAW melewati Sa’d sedang berwudhu (mengambil air wudhu dengan gayung), beliau SAW bersabda: Mengapa israf seperti ini?. Maka dia (Sa’ad) bertanya: apakah di dalam wudlu (juga) ada israf?. Beliau menjawab: “Ya. (Janganlah berlebihan dalam menggunakan air untuk wudlu), walaupun kamu sedang berada di pinggir sungai yang (airnya) mengalir (deras)” (HR. Ibnu Majah).[32]
wudhu adalah salah satu bentuk ibadah mahdah, meskipun menyempurnakan wudhu itu wajib, tetapi penggunaan air untuk mendapatkan wudhu yang sempurna tidak boleh berlebihan. Sebenarnya ungkapan rasulullah SAW. ini kalau dicermati tidak hanya berlaku untuk air saja, tetapi untuk semua sumber daya alam, dan hadits ini melarang kita untuk mengeksploitasi sumber alam secara berlebihan.[33]


BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Etika dalam pergaulan yang pertama adalah dalam memilih teman. Kita harus memilih teman yang berakhlaq mulia. Anjuran untuk beretika juga dijelaskan dalam Al-Qur’an dan hadits. Setiap muslim adalah saudara kita dilarang saling terpecah belah. Dalam etika pergaulan kita juga harus menjaga persatuan. Tidak boleh memanggil seseorang dengan nama yang tidak disukai karena hal tersebut dapat menyebabkan pertengkaran. Dilarang membuka aib seseorang, dan harus dapat dipercaya.
Akhlaq terpuji selanjutnya adalah tanggung jawab. Setiap orang haruslah memiliki sikap tanggung jawab. Tanggung jawab adalah ciri manusia yang beradab. Manusia merasa bertanggung jawab karena ia menyadari akibat baik atau buruk perbuatannya itu, dan menyadari pula bahwa pihak lain memerlukan pengadilan atau pengorbana. Sikap tanggung jawab ada dua yaitu tanggung jawab terhadap diri sendiri serta tanggung jawab dalam hidup bermasyarakat.Fastabiqul khoirot adalah berlomba-lomba dalam hal kebaikan. Allah menciptakan manusia untuk berlomba-lomba dalam hal kebaikan. Yaitu berusaha untuk menjadi hamba yang paling bertaqwa disisi Allah SWT. anjuran untuk berlomba-lomba dalam hal kebaikan juga terdapat dalam Al-Qur’an dan hadits.
Selanjutnya adalah setiap muslim harus memiliki sikap giat bekerja. Islam tidak menyukai orang yang suka bermalas-malasan dan pengangguran. Islam sangat menyukai orang yang giat bekerja. Secara hakiki, bekerja bagi seorang muslim adalah ibadah, bukti pengabdian dan rasa syukurnya untuk mengolah dan memenuhi panggilan Ilahi. Selanjutnya setiap muslim juga harus memiliki sikap sederhana dan kita tidak boleh berlebih-lebihan dalam segala hal. Seperti membelanjakan harta, serta kita harus bersedekah terhadap orang yang membutuhkan.

DAFTAR PUSTAKA

Asy-Syalhub, Fuad Abdul Aziz dan Harits bin Zaidan Al-Muzaidi.Panduan Etika Muslim Sehari-Hari. Surabaya: Pustaka Elba, 2011.
Al-Hufiy, Ahmad Muhammad. Keteladanan Akhlaq Nabi Muhammad SAW. Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Hamid, Syamsul Rijal. Buku Pintar Hadits. Jakarta: Bhuana Populer, 2006.
Kementerian Agama RI. Al-Qur’an dan Hadits Kelas XI MA Pendekatan Saintifik Kurikulum 2013. Jakarta: Direktorat Pendidikan Madrasah, 2015.
Kementerian Agama RI. Al-Qur’an dan Hadits Kelas XII MA Pendekatan Saintifik Kurikulum 2013. Jakarta: Direktorat Pendidikan Madrasah, 2016.
Rodiah. Studi Al-Qur’an. Yogyakarta: Elsaq Press, 2010.
Rosyanti, Imas. Esensi Al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia, 2002.



[1]Fuad Abdul Aziz Asy-Syalhub dan Harits bin Zaidan Al-Muzaidi, Panduan Etika Muslim Sehari-Hari (Surabaya: Pustaka Elba, 2011), 185.
[2]Ibid., 186-187.
[3]Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Hadits Kelas XI MA Pendekatan Saintifik Kurikulum 2013 (Jakarta: Direktorat Pendidikan Madrasah, 2015), 52-54.
[4]Ibid., 54.
[5]Ibid., 55.
[6] Ibid., 56.
[7]Syamsul Rijal Hamid, Buku Pintar Hadits (Jakarta: Bhuana Populer, 2006), 401.
[8]Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Hadits Kelas XI MA., 57.
[9]Asy-Syalhub dan Al-Muzaidi, Panduan Etika Muslim., 202.
[10]Hamid, Buku Pintar Hadits., 402-404.
[11]Ibid., 76.
[12]Imas Rosyanti, Esensi Al-Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 2002), 38-39.
[13]Ibid., 41.
[14]Ibid.
[15]Ibid., 42-43.
[16]Ibid., 43-44.
[17]Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Hadits Kelas XI MA., 93.
[18]Ibid., 94-95.
[19]Ibid., 96.
[20] Ibid.
[21]Ibid., 97.
[22]Ahmad Muhammad Al-Hufiy, Keteladanan Akhlaq Nabi Muhammad SAW (Bandung: Pustaka Setia, 2000), 561-562.
[23]Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Hadits Kelas XI MA., 107-108.
[24]Ibid., 108-110.                                                                              
[25]Rodiah, Studi Al-Qur’an (Yogyakarta: Elsaq Press, 2010), 32-33.
[26]Ibid., 566-567.
[27]Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Hadits Kelas XII MA Pendekatan Saintifik Kurikulum 2013 (Jakarta: Direktorat Pendidikan Madrasah, 2016), 6.
[28]Ibid., 7.
[29]Ibid., 8.
[30]Ibid., 11.
[31]Ibid., 12.
[32]Ibid.
[33]Ibid., 13.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Analisis Jurnal yang benar dan Baik By: Mumajad El Basyir

Nama : MA’MA MUMAJAD NIM : 932135616 Mata kuliah : Pengembangan Pendidikan Nonformal/Informal Keagamaan. Instansi.         : Instit...