AKHLAQ TERPUJI II
MAKALAH
DisusununtukmemenuhiTugas
Mata Kuliah
“Al-Qur’an Hadits II”
Dosenpengampu:
Addin Arsyadana, M. Pd. I
Disusun oleh:
Ahmad Fadillah (932103216)
Tanya Fawzi (932116916)
Semester/Kelas: 2C
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KEDIRI
2017
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Setiap muslim hendaklah memiliki akhlaq terpuji. Akhlaq terpuji itu
sangatlah banyak sekali diantaranya yaitu etika dalam pergaulan, tanggung
jawab, fastabiqul khoirot, giat bekerja dan sederhana. Yang pertama adalah
etika dalam pergaulan yaitu kita harus memiliki etika didalam pergaulan
diantaranya yaitu memilih teman yang baik akhlaqnya, dapat dipercaya, tidak
membuka aib orang lain, serta menjaga persatuan.
Setiap muslim harus memiliki sikap tanggung jawab. Tanggung jawab
seseorang ada dua yaitu tanggung jawab pada diri sendiri serta tanggung jawab
dalam kehidupan bermasyarakat.Sikap lain yang harus dimiliki seorang muslim yaitu
fastabiqul khoirot atau berlomba-lomba dalam hal kebaikan. Yaitu berlomba-lomba
untuk menjadi orang paling bertaqwa dihadapan Allah SWT. serta mengharap ridho
Allah SWT. dalam Al-Qur’an dan hadits juga dijelaskan anjuran untuk
berlomba-lomba dalam hal kebaikan.
Setiap muslim hendaklah memiliki sikap giat bekerja. Kita tidak boleh
bersikap bermalas-malasan. Islam membenci seorang muslim yang suka
bermalas-malasan, pengangguran dan meminta-minta. Kita dilarang meminta-minta
selama kita masih memiliki kemampuan untuk bekerja. Dalam Al-Qur’an dan hadits
juga dijelaskan bahwa tangan diatas lebih baik daripada tangan dibawah. Hal itu
menandakan bahwa kita harus memiliki sikap giat bekerja.Setiap muslim harus
memiliki sikap sederhana dan tidak berlebih-lebihan. Kita tidak boleh boros
dalam membelanjakan harta. Serta kita dianjurkan untuk bersedekah. Dalam
Al-Qur’an dan hadits juga dijelaskan agar kita memiliki sikap sederhana dan
tidak berlebih-lebihan. Oleh sebab itu, begitu pentingnya akhlaq terpuji
tersebut, berikut akan dibahas secara rinci tentang akhlaq terpuji etika dalam
pergaulan, tanggung jawab, fastabiqul khoirot, giat bekerja dan sederhana.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana etika dalam pergaulan?
2.
Apa yang dimaksud dengan sikap tanggung jawab?
3.
Apa yang dimaksud dengan fastabiqul khoirot?
4.
Apa yang dimaksud dengan giat bekerja?
5.
Apa yang dimaksud dengan sikap sederhana?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui bagaimana etika dalam pergaulan.
2.
Untuk mengetahui bagaimana bersikap tanggung
jawab.
3.
Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan
fastabiqul khoirot dan bagaimana menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
4.
Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan sikap
giat bekerja.
5.
Untuk mengetahui sikap sederhana.
PEMBAHASAN
A.
Etika Dalam Pergaulan
Anjuran untuk beretika juga
terdapat pada Al-Qur’an dan hadits. Etika dalam pergaulan yang pertama adalah dalam
hal memilih teman. Abu hurairah R.A meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda:
الرَّجُلُ عَلَى دِيْنِ خَلِيْلِهِ فَلْيَنْظُرْأَحَدُكُمْ
مَنْ يُخَالِلُ
Artinya: “Seseorang
itu bergantung pada agama teman akrabnya. Maka hendaklah salah seorang di
antara kamu memperhatikan siapa yang dia jadikan teman akrab.”(HR.
At-Tirmidzi).[1]
Maksudnya, seseorang
itu mengikuti kebiasaan, cara hidup dan perilaku sahabatnya. Maka hendaknya dia
memperhatikan dan merenungkan siapa yang dijadikan sebagai sahabatnya. Orang
yang baik agama dan akhlaknya, hendaknya dia jadikan sebagai sahabat dan tidak
dijauhi.
Dampak negatif dari
teman yang buruk adalah nyata (riil) dan tak terelakkan, betapapun kerasnya
upaya untuk menghindarinya. Karena hal itu sudah disabdakan oleh Nabi SAW. Abu
Musa Al-Asy’ari R.A meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda:
مَثَلُ الْجَلِيْسِ الصَّالِحِ وَالسُّوْءِ
كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيْرِ فَحَامِلُ الْمِسْكِ اِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ
وَاِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ وَاِمَّاأَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيْحًا طَيِّبِةُ وَنَافِخُ
الْكِيْرِ اِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ وَ اِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيْحًا خَبِيْثَةً.
Artinya: “perumpamaan
teman duduk yang baik dan yang buruk ialah seperti pembawa minyak kasturi
(misik) dan peniup cerobonh api. Pembawa minyak kasturi adakalanya memberimu
dan adakalanya engkau membeli darinya atau engkau mendapatkan aroma yang harum
darinya. Sedangkan peniup cerobong api adakalanya membakar pakaianmu dan
adakalanya engkau mendapatkan bau yang busuk. (HR. Al-Bukhari).[2]
Anjuran untuk
beretika dalam pergaulan juga dijelaskan dalam Al-Qur’an yaitu pada surah
al-Hujurat (49): 10-13.
إِنَّمَا
الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ
لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ. يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا
خَيْرًا مِنْهُمْ وَلا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ
وَلا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلا تَنَابَزُوا بِالألْقَابِ بِئْسَ الاسْمُ
الْفُسُوقُ بَعْدَ الإيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ. يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ
الظَّنِّ إِثْمٌ وَلا تَجَسَّسُوا وَلا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ
أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا
اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ. يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا
خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ
لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ
عَلِيمٌ خَبِيرٌ.
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang
mukminadalahbersaudarakarenaitudamaikanlahantarakeduasaudaramudanbertakwalahkepada
Allah supayakamumendapatrahmat.(Q.S al-Hujurat [49]:10)
Hai
orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain
(karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang
mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain
(karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari
wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan
janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-burukpanggilanialah
(panggilan) yang buruksesudahimandanbarangsiapa yang tidakbertobat,
makamerekaitulah orang-orang yang lalim.(QS. Al-Hujurat [49]:11)
Hai
orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya
sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan
orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakahsalahseorang
di antarakamumemakandagingsaudaranya yang sudahmati?
Makatentulahkamumerasajijikkepadanya. Dan bertakwalahkepada Allah. Sesungguhnya
Allah MahaPenerimatobatlagiMahaPenyayang.(QS. Al-Hujurat [49]: 12)
Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antarakamu di sisi Allah
ialah orang yang paling bertakwa di antarakamu. Sesungguhnya Allah
MahaMengetahuilagiMahaMengenal.(QS. Al-Hujurat [49]:13)[3]
Pada ayat 10, Allah menegaskan bahwa walaupun orang-orang
mukmin itu berbeda-beda bangsa, etnis, bahasa, warna kulit dan adat
kebiasaannya serta stratifikasi sosialnya, namun mereka adalah satu dalam
persaudaraan Islam. Persaudaraan yang kokoh diantara kaum muslimin dibutuhkan
akhlak atau moral yang melandasi sikap dan perilaku mereka.[4]
Kandungan ayat 11 merupakan
konsekuensi logis dari ayat 10, yaitu Allah menegaskan bahwa umat Islam tidak
boleh saling mengolok-olokkan. Karena perilaku tersebut dapat menimbulkan
kemarahan orang lain, atau merasa dihina sehingga akan menimbulkan pertengkaran
dan perkelahian. Allah SWT juga melarang orang-orang mukmin untuk mencela
dirinya sendiri, yang sebagian mufassir mengartikan melarang mencela saudara
mukmin lainnya.[5]
Dalam ayat 12 ini, masih dalam
kerangka membina persaudaraan orang-orang mukmin, Allah SWT melarang
orang-orang yang beriman cepat berprasangka. Sebab sebagian dari prasangka adalah
dosa yang harus dijauhi. Disamping itu juga mencari-cari kesalahan orang lain
menggunjing atau ghibah. Oleh karena itu Allah memerintahkan orang beriman
untuk senantiasa bertaqwa.
QS. Al-Hujurat ayat 13 ini
menegaskan kepada semua manusia bahwa ia diciptakan Allah SWT dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan. Allah maha Kuasa dan Pencipta yang baik.
Menciptakan manusia secara pluralistik, berbangsa, bersuku yang bermacam-macam
dengan keanekaragaman dan kemajemukan manusia bukan untuk berpecah belah,
saling merasa paling benar, melainkan untuk saling mengenal, bersilaturrahmi,
berkomunikasi saling memberi dan menerima.[6]
Dalam etika pergaulan kita harus
menghormati orang yang lebih tua. Abu Musa ra. Mengemukakan, Nabi Muhammad
Rasulullah saw. bersabda, “yang termasuk perbuatan mengagungkan Allah SWT,
adalah: menghormati orang yang sudah tua, menghormati orang yang hafal Al
Qur’an yang tidak sombong dan menghormati penguasa yang berlaku adil”.(HR.
Abu Dawud). Anjuran untuk menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang muda
yaitu dari Ubaidah bin Shomad ra. Memberitahukan, Nabi Muhammad Rasulullah saw.
bersabda, “Bukanlah termasuk umatku orang yang tidak mau menghormati orang
yang lebih tua, dan orang-orang berilmu, tidak menyayangi orang-orang yang
masih kecil (lebih muda)”. (HR. Achmad, dan Thobroni).[7] Dalam
hadits lain juga diceritakan dari Ibnu Abbas, dan dia merafa’kannya kepada
Nabi, beliau bersabda:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ يَرْفَعُهُ اِلَى النَّبِيِّ
صلى الله عليه وسلم قَالَ: لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يُوَقِّرْ الْكَبِيْرَ وَيَرْحَمُ
الصَّغِيْرَ وِيَأْمُرْ بِاالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ (رواه احمد)
Dari Ibnu Abbas, dan dia
merafa’kannya kepada Nabi beliau bersabda: “Bukan termasuk golongan kami orang
tidak menghormati yang lebih besar dan tidak menyayangi yang lebih kecil serta
tidak menyuruh kepada kebaikan dan melarang yang mungkar” (HR. Ahmad).[8]
Hindari Prasangka dan mencari
keburukan orang lain. Seperti dalam hadits dari Abu Hurairah ra. Menyatakan,
Nabi Muhammad Rasulullah saw bersabda:
إِيَّاكُمْ وَ الظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ
الْحَدِيْثِ وَلاَ تَجَسَّسُوا وَلاَ تَحَسَّسُوا.
“Hindari prasangka, karena prasangka itu
berita yang paling bohong. Dan janganlah kamu mencari-cari aib orang dan jangan
pula memata-matainya.” (HR. Muslim).[9]
Dilarang berbohong dalam bercanda.
Seperti dalam hadits Nabi Muhammad Rasulullah saw. bersabda, “Celakalah
orang yang karena ingin ditertawakan orang lain, lalu berbicara bohong,
celakalah orang itu. Celakalah dia”. (HR. Tirmidzi).
Anjuran untuk mengadakan kebiasaan
yang baik. Seperti dalam hadits Nabi Muhammad Rasulullah saw. bersabda, “Barang
siapa yang mengadakan dalam Islam kebaikan baik, maka dia
memperoleh pahala dan mendapatkan bagian pahala yang turut mengamalkannya tanpa
mengurangi pahala-pahala mereka. Dan barang siapa dalam Islam mengadakan
kebiasaan buruk, maka ia berdosa dan mendapatkan dosa-dosa dari orang-orang
yang mengikuti kebiasaan jelek tersebut, tanpa mengurangi dosa mereka”.(HR.
Muslim)
Menjauhi sesuatu yang tidak
penting. Abu hurairah ra. Mengatakan, Nabi Muhammad Rasulullah saw. bersabda, “Diantara
tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak penting
baginya”. (HR. Tirmidzi).[10]
B. Tanggung
Jawab
Setiap manusia harus memiliki rasa tanggung jawab, rasa
tanggung jawab itu harus disesuaikan dengan apa yang telah dilakukan. Arti dari
tanggung jawab menurut KBBI adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya.
Sehingga bertanggung jawab menurut kamus umum bahasa Indonesia adalah
berkewajiban memikul, menanggung segala sesuatunya, dan menanggung jawab segala
akibatnya. Tanggung jawab adalah ciri manusia yang beradab. Manusia merasa
bertanggung jawab karena ia menyadari akibat baik atau buruk perbuatannya itu,
dan menyadari pula bahwa pihak lain memerlukan pengadilan atau pengorbanan.[11] Ada dua
tanggung jawab yang harus dilakukan oleh manusia yaitu:
a. Tanggung Jawab Manusia Sebagai
Individu
Pada dasarnya, keberadaan manusia
ditentukan dengan kehendak Allah SWT. manusia dibekali oleh Allah SWT. dengan
berbagai potensi yang dimilikinya, diantaranya nafs atau jiwa sadar. Abu
A’la Al-Maududi menyatakan bahwa nafs manusia ada tiga tingkatan, yakni
pertama, nafs ammarah, yaitu jiwa yang mudah terpengaruh bisikan hati
yang sama-sama dimiliki manusia dan binatang. Dengan nafs ammarah ini,
manusia memiliki ambisi dan emosi untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan
hidupnya. Kedua, nafs lawwamah, yaitu jiwa yang berhati-hati atau sadar
secara moral untuk berjuang meraih kebaikan dan menolak perbuatan jahat. Ketiga
adalah nafs muthma’innah, yaitu jiwa yang selaras secara sempurna dengan
kehendak Allah SWT. yakni jiwa yang rela pada aturan Allah SWT. dan mendapatkan
keridaan-Nya karena senantiasa tunduk pada aturan tersebut. Pembagian tersebut
berpijak pada keterangan QS. Yusuf: 53.
وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لأمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلا
مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ.
Artinya:“Dan aku tidak
membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu
menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.
Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[12]
Dalam beberapa ayat Al-Qur’an,
Allah SWT. berbicara tentang tanggung jawab pribadi, diantaranya dalam surah
Maryam:93-95, Allah SWT. berfirman:
إِنْ كُلُّ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ إِلا آتِي الرَّحْمَنِ
عَبْدًا. لَقَدْ أَحْصَاهُمْ وَعَدَّهُمْ عَدًّا. وَكُلُّهُمْ آتِيهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
فَرْدًا.
Artinya:”Tidakadaseorang pun di langitdan di bumi,
kecualiakandatangkepadaTuhan Yang MahaPemurahselakuseoranghamba.Sesungguhnya
Allah telahmenentukanjumlahmerekadanmenghitungmerekadenganhitungan yang
teliti.Dan tiap-tiapmerekaakandatangkepada Allah
padaharikiamatdengansendiri-sendiri.”[13]
Dalam surah lain, QS. Al-An’aam:
94. Allah SWT. berfirman:
وَلَقَدْ جِئْتُمُونَا فُرَادَى كَمَا خَلَقْنَاكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ
وَتَرَكْتُمْ مَا خَوَّلْنَاكُمْ وَرَاءَ ظُهُورِكُمْ وَمَا نَرَى مَعَكُمْ شُفَعَاءَكُمُ
الَّذِينَ زَعَمْتُمْ أَنَّهُمْ فِيكُمْ شُرَكَاءُ لَقَدْ تَقَطَّعَ بَيْنَكُمْ
وَضَلَّ عَنْكُمْ مَا كُنْتُمْ تَزْعُمُونَ.
Artinya: ”Dan sesungguhnya kamu
datang kepada Kami sendiri-sendiri sebagaimana kamu Kami ciptakan pada mulanya,
dan kamu tinggalkan di belakangmu (di dunia) apa yang telah Kami kurniakan
kepadamu; dan Kami tiada melihat besertamu pemberi syafaat yang kamu anggap
bahwa mereka itu sekutu-sekutu Tuhan di antara kamu. Sungguhtelahterputuslah
(pertalian) antarakamudantelahlenyapdaripadakamuapa yang dahulukamuanggap
(sebagaisekutu Allah)”.[14]
Jadi, keberadaan manusia, baik
dihadapan Allah SWT. maupun dihadapan sesama manusia, banyak ditentukan oleh
potensi dan kualitas dirinya dalam menjalani hidupnya dan mampu membuktikan
dalam beramal, baik secara khusus kepada Allah SWT. sebagai penciptanya maupun
pada lingkungannya sebagai anggota masyarakat. Ia mampu berkiprah untuk menjadi
seorang manusia yang bermanfaat bagi dirinya dan lingkungannya. Itulah ciri
orang yang memahami tanggung jawab terhadap dirinya sendiri.[15]
b. Tanggung Jawab Manusia Sebagai
Makhluk Sosial
Manusia senantiasa bergantung kepada orang
lain sehingga ia dituntut untuk hidup bersama secara damai dalam bimbingan
Allah SWT. oleh karena itu, setiap pribadi bertanggung jawab untuk memperbaiki
perilakunya, baik lahir maupun batin, lalu perilaku keluarganya bagi yang telah
berkeluarga dengan memperhatikan pendidikan istri dan anak-anaknya, baik yang
berkaitan dengan aspek jasmani maupun rohani. Rasulullah SAW. bersabda dalam
sebuah haditsnya:
عَنْ أَبِيْ سَعِيْدِ الْخُدْرِيِّ قَالَ : سَمِعْتُ
رَسُوْلَ اللهِ صَلَّي اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. يَقُوْلُ: مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا
فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ وَ إِنْ لَمْ
يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيْمَانِ. (رواه مسلم و أحمد وابن
ماجه)
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu
Sa’id Al-Khudri, ia berkata, ‘saya mendengar Rasulullah SAW. bersabda,
‘Barangsiapa yang melihat kemunkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan
tangannya,lalu jika ia tidak mampu, maka dengan lisannya, lalu jika ia tidak
mampu, maka dengan hatinya. Dan hal terakhir ini merupakan selemah-lemahnya
iman”.
Pada
intinya hadits ini membawa pesan bahwa seorang muslim harus merasakan pahit dan
manisnya hidup bermasyarakat. Ia tidak dibenarkan untuk mempunyai sikap tak
peduli terhadap lingkungannya. Al-Qur’an menekankan kebersamaan anggota
masyarakat, yaitu tercapainya tujuan hidup bersama.[16]
C. Fastabiqul
Khoirot
Allah menciptakan manusia untuk
berlomba-lomba dalam kebaikan. Ternyata manusia memang harus berkompetisi,
yaitu sebuah kompetisi melakukan yang terbaik dalam jalan yang telah dipilihkan
oleh Allah untuknya. Setiap orang memiliki caranya tersendiri dalam berjuang.
Itulah kehebatan Allah SWT. Dia dzat yang tidak mengenal parameter duniawi
dalam melakukan penilaian. Manusia dinilai dari caranya berjuang dalam
kehidupan dunia yang telah dipilihkan oleh-Nya. Ketika kita melihat menengok
sejarah Islam, ‘Umar bin Khattab, selalu menganggap Abu Bakar sebagai rekan
kompetisinya. ‘Umar selalu berusaha untuk lebih unggul dari Abu Bakar dalam
amal dan pengorbanan.
Demikianlah para sahabat, dan
masih banyak lagi para as-salafus-salihin yang pantas kita jadikan
teladan guna menapaki kehidupan ini. Mereka berkompetisi guna menjadi yang
terbaik di hadapan Allah. Ternyata menjadi kompetitif itu perlu, kompetisi yang
sesuai dengan porsinya. Kompetisi dalam kebaikan.[17] Anjuran
untuk berlomba-lomba dalam halkebaikan juga dijelaskan dalam Al-Qur’an dan
Hadits. Dalam Al-Qur’an seperti dalam QS. Al-Baqarah [2]: 148
وَلِكُلٍّ وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيهَا فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ
أَيْنَمَا تَكُونُوا يَأْتِ بِكُمُ اللَّهُ جَمِيعًا إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ
شَيْءٍ قَدِيرٌ.
Artinya:”Dan bagitiap-tiapumatadakiblatnya (sendiri) yang
iamenghadapkepadanya. Makaberlomba-lombalahkamu (dalamberbuat) kebaikan. Di
manasajakamuberadapasti Allah akanmengumpulkankamusekalian (padaharikiamat).
Sesungguhnya Allah MahaKuasaatassegalasesuatu.”
Secara umum ayat ini dapat
dipahami sebagai dorongan kepada umat Islam untuk selalu berlomba-lomba dalam
kebaikan. Pada ayat ini, Allah menerangkan bahwa bagi setiap pemeluk suatu
agama mempunyai kiblatnya sendiri-sendiri. Tentunya kiblat itulah yang menjadi
kecenderungan mereka untuk menghadap sesuai dengan keyakinan mereka. Dan kaum
muslimin mempunyai kiblat yang ditetapkan langsung oleh Allah yaitu ka’bah.
Dalam ayat ini, Allah memerintah
umat Islam untuk senantiasa berlomba-lomba dalam mengerjakan kebaikan (fastabiqul
khairat). Menghadap ke kiblat (ka’bah) bukanlah tujuan tapi harus
dipahami bahwa umat Islam adalah satu. Dan kandungan ayat ini yang dapat kita
ambil maknanya adalah hendaknya kita giat bekerja serta berlomba dalam segala
bentuk kebaikan baik salat, bersedekah, menuntut ilmu, dan amalan-amalan
positif yang lain. Dampak positif yang dihasilkan dari kompetisi dalam kebaikan
yaitu terciptanya kondisi kehidupan yang dinamis, maju dan senantiasa
bersemangat untuk berkreasi dan berinovasi.
Ayat ini juga menjelaskan bahwa
saatnya nanti, Allah SWT akan mengumpulkan semua manusia, di manapun dan dari
arah manapun mereka berada. Tidak ada seorang pun yang luput dan lepas dari
pengawasan Allah SWT, yaitu pada saat manusia menjalani kehidupan di alam akhirat.
Mereka akan diperlihatkan semua amal baik atau buruk yang pernah dilakukan pada
saat hidup di dunia dan semua akan mendapat balasan sesuai dengan amalnya
masing-masing.[18]
Dalam surah lain juga dijelaskan
yaitu pada QS. Fatir [35]: 32
ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ
عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ
سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ.
Artinya:“KemudianKitabitu Kami wariskankepada orang-orang yang
Kami pilih di antarahamba-hamba Kami, lalu di antaramerekaada yang
menganiayadirimerekasendiridan di antaramerekaada yang pertengahandan di
antaramerekaada (pula) yang lebihdahuluberbuatkebaikandenganizin Allah. Yang
demikianituadalahkarunia yang amatbesar.”
Secara global ayat ini menerangkan
bahwa Allah SWT. telah menurunkan Al-Qur’an kepada Rasulullah untuk digunakan
sebagai pedoman hidup bagi umatnya. Namun, dalam realita kehidupan di antara
umat Islam ada berbagai macam sikap dalam mengambil Al-Qur’an sebagai pedoman
hidup. Sikap-sikap mereka ini diantaranya disebutkan dalam Al-Qur’an surah
Al-Fatir ayat 32 berikut ini.
1. Kelompok pertama adalah ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ(mereka yang
mendholimi dirinya sendiri), yaitu orang yang meninggalkan perintah-perintah
Allah dan mengerjakan berbagai perkara yang diharamkan.
2. Kelompok kedua مُقْتَصِدٌ(mereka bersikap
pertengahan), yaitu mereka disamping melaksanakan kewajiban-kewajiban dan
menjauhi larangan-larangan. Namun, terkadang mereka ini meninggalkan
perkara-perkara yang disunahkan dan melakukan perkara-perkara yang di
makruhkan.
3. Kelompok ketiga سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِyaitu mereka yang bersikap segera melakukan
kebaikan-kebaikan dengan izin Allah. Golongan ini senantiasa mengerjakan
perbuatan yang diwajibkan dan disunahkan serta menjauhi perkara yang diharamkan
dan dimakruhkan.[19]
Ar-Razi menafsirkan bahwa zalimun
linafsih adalah orang yang lebih banyak kesalahannya, sedangkan muqtasid
(tengah) adalah orang yang seimbang antara kesalahan dan kebaikannya. Adapun sabiqun
nin khairat adalah orang yang lebih banyak kebaikannya.[20]
Selanjutnya dijelaskan pula untuk
berlomba-lomba dalam hal kebaikan yaitu pada surah An-Nahl [16]: 97).
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ
فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ
مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ.
Artinya:”Barangsiapa yang mengerjakanamalsaleh, baiklaki-laki
maupun perempuandalamkeadaanberiman, makasesungguhnyaakan Kami
berikankepadanyakehidupan yang baikdansesungguhnyaakan Kami beribalasankepadamerekadenganpahala
yang lebihbaikdariapa yang telahmerekakerjakan.”
Pada ayat di atas Allah
menjelaskan akan memberikan kehidupan yang sejahtera kepada siapapun, baik
laki-laki maupun perempuan, apabila mereka mau beriman dan beramal saleh. Dan
balasan Allah bernilai lebih tinggi daripada yang dikerjakan. Ada beberapa
pendapat ahli tafsir dalam memahami ungkapan
حَيَاةٌ طَيِّبَةٌdiantaranya adalah:
1). Menurut Ibnu Kasir bahwa yang disebut
dengan hayyatan toyyiban adalah ketentraman jiwa.
2). Ibnu Abbas menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan hayatan toyyiban adalah hidup sejahtera dan bahagia
dengan rezeki yang halal dan baik (bermutu gizinya).
3). Adapun menurut Ali bin Abi thalib yang
dinamakan hayatan toyyiban adalah kehidupan yang disertai qana’ah
(menerima dengan suka hati) terhadap pemberian Allah.[21]
D. Giat
Bekerja
Islam adalah akidah, syariah dan
amal. Namun, amal meliputi ibadah, ketaatan, serta kegiatan dalam usaha mencari
rizki, mengembangkan produktivitas dan kemakmuran. Oleh karena itu, Allah Azza
wa Jalla menyuruh para hamba-Nya supaya bekerja dan berusaha di muka bumi untuk
memperoleh rezeki. Agama Islam tidak menghendaki para pemeluknya menjadi orang
yang malas dan memandang bahwa bekerja adalah perbuatan yang jelek dan hanya
mendatangkan siksa baginya. Mereka lupa bahwa bahagia dan nikmat Allah ada
dalam bekerja. Islam mendidik pengikutnya agar cinta bekerja serta menghargai
pekerjaan sebagai kewajiban dalam kehidupannya. Islam menganjurkan bekerja
karena bekerja merupakan latihan kesabaran, ketekunan, keterampilan, kejujuran,
dan pendayagunaan pikiran. Islam membenci pengangguran, kemalasan, dan
kebodohan karena hal itu merupakan maut yang lambat laun akan mematikan semua
daya kekuatan dan menjadi sebab kerusakan dan keburukan.[22]
Allah SWT. berfirman dalam QS.
Al-Jumu’ah [62]: 9-11.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ
يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ
خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ.فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاةُ
فَانْتَشِرُوا فِي الأرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ
كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ.وَإِذَا رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ لَهْوًا انْفَضُّوا
إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَائِمًا قُلْ مَا عِنْدَ اللَّهِ خَيْرٌ مِنَ اللَّهْوِ
وَمِنَ التِّجَارَةِ وَاللَّهُ خَيْرُ الرَّازِقِينَ.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman,
apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jumat, maka bersegeralah
kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu
lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”(QS. Al-Jumu’ah [62]: 9).
“Apabila telah ditunaikan
sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan
ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”(QS. Al-Jumu’ah [62]: 10).
“Dan
apabilamerekamelihatperniagaanataupermainan,
merekabubaruntukmenujukepadanyadanmerekatinggalkankamusedangberdiri
(berkhutbah). Katakanlah: "Apa yang di sisi Allah adalahlebihbaikdaripadapermainandanperniagaan",
dan Allah Sebaik-baikPemberirezeki.”(QS. Al-Jumu’ah [62]: 11).[23]
QS. Al-Jumu’ah ayat 9 ini
berkenaan dengan seruan Allah SWT. kepada orang-orang yang beriman agar
mendirikan sholat jum’at. Serta kalau sudah waktunya salat jum’at hendaklah
segala macam kesibukan seperti jual beli, perniagaan segera ditinggalkan. Pada
ayat 10 surah Al-Jumu’ah, Allah SWT melanjutkan seruannya setelah mengerjakan
sholat segeralah mencari karunia Allah boleh kembali bertebaran di muka bumi. Pada
ayat 11 diawali dengan pernyataan Allah tentang sikap sebagian orang-orang
mukmin yang masih silau dengan perniagaan. Kemudian Allah mengingatkan bahwa
apa yang ada disisi Allah adalah lebih baik daripada permainan dan perdagangan.
Keridhaan dari pahala Allah jauh lebih baik daripada yang diusahakan manusia.[24]
Seorang muslim yang memiliki
kepribadian qur’ani pastilah akan menunjukkan etos kerja dengan cara bersikap
dan berbuat serta menghasilkan segala sesuatu dengan bersungguh-sungguh. Dengan
etos kerja yang bersumber dari keyakinan qur’ani ada semacam keterpanggilan
yang sangat kuat dalam dari lubuk hatinya untuk bekerja dengan hasil yang
terbaik. Karena etos kerja berkaitan dengan nilai kejiwaan seseorang, hendaknya
setiap pribadi muslim harus mengisinya dengan kebiasaan-kebiasaan yang positif,
dan menghasilkan pekerjaan yang terbaik, sehingga nilai-nilai Islam yang
diyakininya dapat diwujudkan.
Secara hakiki, bekerja bagi
seorang muslim adalah “ibadah”, bukti pengabdian dan rasa syukurnya untuk mengolah
dan memenuhi panggilan Ilahi agar mampu menjadi yang terbaik karena mereka
sadar bahwa bumi diciptakan sebagai ujian bagi mereka yang memiliki etos kerja
yang terbaik.[25]
Anjuran untuk giat bekerjaterdapat
dalam hadits yaitu Rasulullah SAW. berkata:
مَنْ اَكَلَ اَحَدٌ طَعَامًا قَدُّ خَيْرًا
مَنْ اَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَاِنَّ نَبِيَّ اللهَ دَاوُدُ عَلَيْهِ
السَّلاَمُ كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ.
Artinya: “Tidak ada orang yang
makan-makanan yang lebih baik daripada hasil pekerjaan tangannya sendiri. Dan
sesungguhnya Nabi Allah Daud a.s makan dari hasil pekerjaannya sendiri.”
اِنَّ اَطْيَبَ مَا اَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ.
Artinya: “Sesungguhnya
sebaik-baik yang dimakan seseorang ialah dari hasil pekerjaannya sendiri.”
مَنْ سَأَلَنَا اَعْطَيْنَاهُ وَمَنِ اسْتَغْنَى
اَغْنَاهُ اللهُ وَ مَنْ لَمْ يَسْأَلْنَا فَهُوَ اَحَبُّ اِلَيْنَا.
Artinya: “ Barangsiapa meminta
kepada kami, ia akan kami beri, dan barang siapa yang mencukupi keperluannya
sendiri, ia diberi kecukupan oleh Allah, dan barangsiapa tidak meminta kepada
kami, ia lebih kami sukai.”[26]
E. Sederhana
Anjuran untuk hidup sederhana banyak dijelaskan dalam
Al-Qur’an dan hadits. Seperti dalam QS. Al-Furqan [25]: 67 yaitu:
وَالَّذِينَ
إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ
قَوَامًا
Artinya: “Dan orang-orang yang apabilamembelanjakan (harta),
merekatidakberlebih-lebihan, dantidak (pula) kikir, danadalah (pembelanjaanitu)
di tengah-tengahantara yang demikian.”
Al-Infaq atau al-Nafaqah, di dalam Al-Qur’an
secara umum mempunyai arti mempergunakan dan membelanjakan harta baik untuk
kepentingan negatif dan melanggar hukum agama maupun yang bersifat positif
seperti memberikan nafkah kepada keluarga. Al-Israf merupakan bentuk mashdar
dari kata asrafa yang dalam pengertian mengacu kepada segala bentuk
perbuatan yang melampaui batas kewajaran. Sedangkan secara terminologi tidak
hanya terpaku dalam hal membelanjakan harta saja, tetapi segala bentuk tindakan
yang tidak wajar seperti makan, minum dan berpakaian yang tidak wajar juga
disebut israf.[27]
Al-Iqtar artinya menahan diri dari kewajiban memberi
nafkah dan santunan kepada yang berhak mendapatkannya. Atau biasa disebut
dengan bakhil, kikir, pelit. Hal tersebut merupakan karakteristik yang dominan
dimiliki oleh manusia, kalau rezeki yang diterima sedikit ia mengeluh, namun
apabila dikasih rezeki yang banyak mereka enggan berbagi. Barang siapa mampu
menjauhkan diri dari dan memelihara hatinya dari sifat jelek ini, Allah
menjanjikan baginya keberuntungan hidup di dunia dan akhirat. Ayat ini secara
tekstual menuntut kita untuk berlaku bijak dalam membelanjakan harta, tidak
terlalu royal dan tidak terlalu pelit. Tetapi secara makro ayat ini mengajarkan
kesederhanaan dalam hidup, kewajaran dalam bersikap, termasuk kesederhanaan dan
keseimbangan dalam memahami dan mengamalkan tuntunan agama.[28]
Dalam rangka memberikan tuntunan berinfaq dan bershodaqoh
dengan wajar dan sederhana, Al-Qur’an menggunakan terminologi qawaman, yang secara bahasa merupakan
pengembangan dari kata qama yang mengandung arti berdiri, tegak dan
lurus. Maka kesederhanaan dan kewajaran dalam segala hal menjadi sebuah
keharusan untuk menjaga keharmonisan dan keseimbangan hidup seseorang.[29]
Dijelaskan pula dalam QS. Al-Isra’[17]: 29-30 yaitu:
وَلا
تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ
فَتَقْعُدَ
مَلُومًا مَحْسُورًا.إِنَّ رَبَّكَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ
إِنَّهُ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيرًا بَصِيرًا.
Artinya: “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu
terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu
kamu menjadi tercela dan menyesal. Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezeki
kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya; sesungguhnya Dia Maha
Mengetahui lagi Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.”
Sama halnya dengan kandungan QS. Al-Furqan [25]: 67, ayat
ini juga menyebutkan dua karakter yang berbeda dalam mensikapi harta. Yang satu
sangat royal dan berlebihan dalam membelanjakan hartanya, dan satu sisi yang
lain sangat pelit dalam membelanjakan hartanya. Dan keduanya merupakan karakter
yang tercela dan tidak terpuji. Orang yang tidak mau berbagi dan menolong orang
lain digambarkan dalam ayat ini seperti orang yang tangannya diikat di lehernya
sehingga tidak bisa bergerak dan berbuat apa-apa.
Allah melarang kita membelanjakan harta secara berlebihan
dan diluar batas kewajaran termasuk dalam bersedekah. Bersedekah dan berinfaq
sangat dianjurkan tetapi yang paling baik adalah sesuai dengan ketentuan
syariat Islam. Apa yang dimiliki manusia akan habis dan lenyap, sedangkan apa
yang dimiliki Allah selamanya akan kekal dan tidak akan lenyap. Kekuasaan Allah
untuk memberi dan tidak kepada siapa yang dikehendaki, tetapi secara
kontekstual sebenarnya mengajarkan kita tata cara pengelolaan kekayaan dan
manajemen anggaran. Artinya Allah sebagi Dzat yang Maha Kaya tidak akan
menghamburkan kepada semua manusia yang kekayaannya akan lenyap dan habis.
Manusia tidak mungkin hidup sendiri, maka Islam melarang kikir dan bakhil,
serta berperilaku melampaui batas dan terkesan boros.[30]
Perintah untuk berhemat, hidup sederhana dan bersahaja
tidak hanya berlaku di dalam membelanjakan harta, tetapi di dalam semua
aktifitas Islam juga mengedepankan prinsip kewajaran dan kesederhanaan. Seperti
pesan yang terdapat di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan juga
disebutkan Imam Bukhari tentang etika makan, minum, berpakaian, dan bersedekah:
كُلْ وَاشْرَبْ وَالْبَسْ وَ تَصَدَّقْ فِى غَيْرِ سَرَفٍ وَ لَا مَخِيْلَةٍ.
Artinya: “Makanlah, minumlah, berpakaianlah dan bersedekahlah
dengan tidak melampaui batas dan tidak menyombongkan diri.”[31]
Larangan israf berlaku untuk semua perbuatan kapan
pun dan di mana pun, termasuk di dalam urusan ibadah, sebagaimana hadits yang
diriwayatkan oleh Ibn Majah dari Abdullah bin Amr berikut ini:
أًنَّ رَسُوْ لَ الله صلى الله عليه وسلم مَرَّ بِسَعْدٍ وَهُوَ يَتَوَضَّأْ,
فَقَا لَ: مَا هَذَا السَّرَفُ؟ فَقَالَ: أَفِي الْوُضُوْءِ إِسْرَافٌ؟ قَالَ: نَعَمْ,
وَإِنْ كُنْتَ عَلَى نَهْرٍ جَارٍ. (رواه ابن ماجه)
Artinya: “Bahwasanya rasulullah SAW melewati Sa’d
sedang berwudhu (mengambil air wudhu dengan gayung), beliau SAW bersabda:
Mengapa israf seperti ini?. Maka dia (Sa’ad) bertanya: apakah di dalam wudlu
(juga) ada israf?. Beliau menjawab: “Ya. (Janganlah berlebihan dalam
menggunakan air untuk wudlu), walaupun kamu sedang berada di pinggir sungai
yang (airnya) mengalir (deras)” (HR. Ibnu Majah).[32]
wudhu adalah salah satu bentuk ibadah mahdah,
meskipun menyempurnakan wudhu itu wajib, tetapi penggunaan air untuk
mendapatkan wudhu yang sempurna tidak boleh berlebihan. Sebenarnya ungkapan
rasulullah SAW. ini kalau dicermati tidak hanya berlaku untuk air saja, tetapi
untuk semua sumber daya alam, dan hadits ini melarang kita untuk
mengeksploitasi sumber alam secara berlebihan.[33]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Etika dalam pergaulan yang pertama adalah dalam memilih teman. Kita harus
memilih teman yang berakhlaq mulia. Anjuran untuk beretika juga dijelaskan
dalam Al-Qur’an dan hadits. Setiap muslim adalah saudara kita dilarang saling
terpecah belah. Dalam etika pergaulan kita juga harus menjaga persatuan. Tidak
boleh memanggil seseorang dengan nama yang tidak disukai karena hal tersebut
dapat menyebabkan pertengkaran. Dilarang membuka aib seseorang, dan harus dapat
dipercaya.
Akhlaq terpuji selanjutnya adalah tanggung jawab. Setiap orang haruslah
memiliki sikap tanggung jawab. Tanggung jawab adalah ciri manusia yang beradab. Manusia
merasa bertanggung jawab karena ia menyadari akibat baik atau buruk
perbuatannya itu, dan menyadari pula bahwa pihak lain memerlukan pengadilan
atau pengorbana. Sikap tanggung jawab ada dua yaitu tanggung jawab terhadap diri sendiri
serta tanggung jawab dalam hidup bermasyarakat.Fastabiqul khoirot adalah
berlomba-lomba dalam hal kebaikan. Allah menciptakan manusia untuk
berlomba-lomba dalam hal kebaikan. Yaitu berusaha untuk menjadi hamba yang
paling bertaqwa disisi Allah SWT. anjuran untuk berlomba-lomba dalam hal
kebaikan juga terdapat dalam Al-Qur’an dan hadits.
Selanjutnya adalah setiap muslim harus memiliki sikap giat bekerja. Islam
tidak menyukai orang yang suka bermalas-malasan dan pengangguran. Islam sangat
menyukai orang yang giat bekerja. Secara hakiki, bekerja bagi seorang muslim
adalah ibadah, bukti pengabdian dan rasa syukurnya untuk mengolah dan memenuhi
panggilan Ilahi. Selanjutnya setiap muslim juga harus memiliki sikap sederhana dan kita
tidak boleh berlebih-lebihan dalam segala hal. Seperti membelanjakan harta,
serta kita harus bersedekah terhadap orang yang membutuhkan.
DAFTAR PUSTAKA
Asy-Syalhub, Fuad Abdul Aziz dan Harits bin Zaidan Al-Muzaidi.Panduan
Etika Muslim Sehari-Hari. Surabaya: Pustaka Elba, 2011.
Al-Hufiy, Ahmad Muhammad. Keteladanan Akhlaq Nabi Muhammad SAW. Bandung:
Pustaka Setia, 2000.
Hamid, Syamsul Rijal. Buku Pintar Hadits.
Jakarta: Bhuana Populer, 2006.
Kementerian Agama RI. Al-Qur’an dan Hadits Kelas XI MA Pendekatan
Saintifik Kurikulum 2013. Jakarta: Direktorat Pendidikan Madrasah, 2015.
Kementerian Agama RI. Al-Qur’an dan Hadits Kelas XII MA Pendekatan
Saintifik Kurikulum 2013. Jakarta: Direktorat Pendidikan Madrasah, 2016.
Rodiah. Studi Al-Qur’an. Yogyakarta: Elsaq Press, 2010.
Rosyanti, Imas. Esensi Al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia, 2002.
[1]Fuad Abdul Aziz Asy-Syalhub dan Harits bin Zaidan Al-Muzaidi, Panduan
Etika Muslim Sehari-Hari (Surabaya: Pustaka Elba, 2011), 185.
[2]Ibid., 186-187.
[3]Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Hadits Kelas XI MA Pendekatan
Saintifik Kurikulum 2013 (Jakarta: Direktorat Pendidikan Madrasah, 2015),
52-54.
[4]Ibid., 54.
[5]Ibid., 55.
[6] Ibid., 56.
[7]Syamsul Rijal Hamid, Buku Pintar Hadits (Jakarta: Bhuana Populer,
2006), 401.
[8]Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Hadits Kelas XI MA., 57.
[9]Asy-Syalhub dan Al-Muzaidi, Panduan Etika Muslim., 202.
[10]Hamid, Buku Pintar Hadits., 402-404.
[11]Ibid., 76.
[12]Imas Rosyanti, Esensi Al-Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 2002),
38-39.
[13]Ibid., 41.
[14]Ibid.
[15]Ibid., 42-43.
[16]Ibid., 43-44.
[17]Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Hadits Kelas XI MA., 93.
[18]Ibid., 94-95.
[19]Ibid., 96.
[20] Ibid.
[21]Ibid., 97.
[22]Ahmad Muhammad Al-Hufiy, Keteladanan Akhlaq Nabi Muhammad SAW (Bandung:
Pustaka Setia, 2000), 561-562.
[23]Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Hadits Kelas XI MA., 107-108.
[24]Ibid., 108-110.
[25]Rodiah, Studi Al-Qur’an (Yogyakarta: Elsaq Press, 2010), 32-33.
[26]Ibid., 566-567.
[27]Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Hadits Kelas XII MA Pendekatan
Saintifik Kurikulum 2013 (Jakarta: Direktorat Pendidikan Madrasah, 2016),
6.
[28]Ibid., 7.
[29]Ibid., 8.
[30]Ibid., 11.
[31]Ibid., 12.
[32]Ibid.
[33]Ibid., 13.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar