‘AM & KHOS
Disusun
Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
“Ushul Fiqih”
Dosen
Pengampu:
Mohammad Asy’ari M.HI
Disusun
Oleh :
MA'MA MUMAJAD 9321.356.16
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
KEDIRI
2016
Salah
satu unsur penting yang digunakan sebagai pendekatan dalam mengkaji Islam adalah
Ilmu Ushul Fiqh, yaitu ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah yang dijadikan
pedoman dalam menetapkan hukum-hukum syari’at yang bersifat amaliyah yang
diperoleh melalui dalil-dalil yang rinci. Melalui kaidah-kaidah Ushul akan
diketahui nash-nash yang syara’ dan hukum-hukum yang ditunjukkannya.
Materi
ini yang banyak dibahas secara mendalam oleh Ulama Ushul Fiqh sejak dulu,
karena masalah ini sering melahirkan perbedaan pendapat diantara mereka.
perbedaan tersebut terjadi karena berhubungan dengan kedudukan Hadis-hadis Ahad
dengan keumuman Al-Qur’an, dan kedudukan Qiyas terhadap nash-nash yang bersifat
umum.
Dari
segi cakupan lafadz terhadap satuannya dibagi menjadi bentuk yang umum (‘am)
dan Khusus (khash). Sedang dari segi sifat dibagi menjadi bentuk yang muthlaq
dan muqayyad.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apa pengertian dan pembagian lafal ‘Am ?
2.
Apa pengertian Khas ?
3.
Apa pengertian, hukum, dan kaidah tentang Amr ?
C. Tujuan Rumusan Masalah
1.
Untuk mengetahui pengertian, bentuk-bentuk, dan
pembagian lafal ‘Am
2.
Untuk mengetahui pengertian Khas, dan pembagian
Mukhasis
3.
Untuk mengetahui pengertian, bentuk-bentuk, hukum,
dan kaidah tentang Amr
BAB II
PEMBAHASAN
A. ‘Am
Seperti
disimpulkan Muhammad Adib Saleh, lafadz
‘am (umum) ialah lafadz yang diciptakan untuk pengertian umum sesuai dengan
pengertian lafadz itu sendiri tanpa dibatasi dengan jumlah tertentu[1]
Pembahasan
Lafazh ‘am dalam ilmu Ushul fiqh mempunyai kedudukan tersendiri, karena Lafazh
‘am mempunyai tingkat yang luas serta menjadi ajang perdebatan pendapat ulama
dalam menetapkan hukum. Dipihak lain, sumber hukum Islam pun, Al-Qur’an dan
sunnah, dalam banyak hal memakai lafazh umum yang bersifat universal. Lafaz ‘am
ialah suatu lafaz yang menunjukkan satu makna yang mencakup seluruh satuan yang
tidak terbatas dalam jumlah tertentu[2]
Maka
yang dimaksud dengan ‘am yaitu suatu lafadz yang dipergunakan untuk menunjukkan
suatu makna yang pantas (boleh) dimasukkan pada makna itu dengan mengucapkan
sekali ucapan saja. Seperti kita katakan “arrijal”, maka lafadz ini meliputi
semua laki-laki.
a. Lafaz-lafaz ‘Am
o Kullun, jami’un, kaffatun dan ma’syara.
o
Man,
Maa dan Aina pada Majaz
o
Man,
Maa, Aina dan Mata untuk Istifham (pertanyaan)
o
Ayyu
o
Nakirah
sesudah naïf
o
Isim
maushul
o Idhafah
b. Dilalah Lafazh ‘Am
Para
Ulama sepakat bahwa lafazh ‘am yang disertai qarinah (indikasi) yang menunjukkan penolakan adanya takhsis adalah qat’i dilalah. Mereka pun sepakat bahwa lafazh ‘am yang disertai
qarinah yang menunjukkan bahwa yang dimaksudnya itu khusus, mempunyai dilalah
yang khusus pula. Yang menjadi
perdebatan pendapat disini ialah lafazh ‘am yang mutlaq tanpa disertai suatu
qarinah yang menolak kemungkinan adanya takhsis, atau tetap berlaku umum yang
mencakup satuan-satuannya.
Menurut
Hanafiyah dilalah ‘am itu qath’i, yang dimaksud qath’i menurut hanafiyah ialah
:
Contoh
mengharamkan memakan daging yang disembelih tanpa menyebut basmalah, karena
adanya firman Allah yang bersifat umum, yang berbunyi:
وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا
لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْ
“dan janganlah kamu
memakan binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya”.
(Al-An`âm:121)
4. Macam-macam lafadz ‘am
a. Lafadz ‘am yang dikehendaki keumumannya karena ada dalil atau indikasi yang menunjukkan tertutupnya kemungkinan ada takhshish (pengkhususan). Misalnya:
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lohmahfuz).( Hud:6).
Yang dimaksud adalah seluruh jenis hewan melata, tanpa kecuali.
b. Lafadz ‘am tetapi yang dimaksud adalah makna khusus karena ada indikasi yang menunjukkan makna seperti itu. Contohnya:
مَا كَانَ لِأَهْلِ الْمَدِينَةِ وَمَنْ حَوْلَهُمْ مِنَ الْأَعْرَابِ أَنْ يَتَخَلَّفُوا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ وَلَا يَرْغَبُوا بِأَنْفُسِهِمْ عَنْ نَفْسِهِ
Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badui yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul. (At-Taubah: 120).
Yang dimaksud ayat tersebut bukan seluruh penduduk Mekah, tapi hanya orang-orang yang mampu.
c. Lafadz ‘am yang terbebas dari indikasi yang dimaksud makna umumnya atau sebagian cakupannya. Contoh:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.( Al-Baqarah: 228).
Lafadz ‘am dalam ayat tersebut adalah al-muthallaqat (wanita-wanita yang ditalak), terbebas dari indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah makna umum atau sebagian cakupannya.
a. Lafadz ‘am yang dikehendaki keumumannya karena ada dalil atau indikasi yang menunjukkan tertutupnya kemungkinan ada takhshish (pengkhususan). Misalnya:
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lohmahfuz).( Hud:6).
Yang dimaksud adalah seluruh jenis hewan melata, tanpa kecuali.
b. Lafadz ‘am tetapi yang dimaksud adalah makna khusus karena ada indikasi yang menunjukkan makna seperti itu. Contohnya:
مَا كَانَ لِأَهْلِ الْمَدِينَةِ وَمَنْ حَوْلَهُمْ مِنَ الْأَعْرَابِ أَنْ يَتَخَلَّفُوا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ وَلَا يَرْغَبُوا بِأَنْفُسِهِمْ عَنْ نَفْسِهِ
Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badui yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul. (At-Taubah: 120).
Yang dimaksud ayat tersebut bukan seluruh penduduk Mekah, tapi hanya orang-orang yang mampu.
c. Lafadz ‘am yang terbebas dari indikasi yang dimaksud makna umumnya atau sebagian cakupannya. Contoh:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.( Al-Baqarah: 228).
Lafadz ‘am dalam ayat tersebut adalah al-muthallaqat (wanita-wanita yang ditalak), terbebas dari indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah makna umum atau sebagian cakupannya.
B. Khas
Setiap
lafaz yang menunjukkan arti tunggal itulah lafaz khas. Dan menurut kesepakatan
para ulama, bahwa setiap lafaz yang khas menunjukkan pengertian yang qath’i (pasti), yakni tidak mengandung
kemungkinan-kemungkinan lain dalam pengertiannya.
· Contoh lafazh khas
Adalah ayat 89 surat Al-maidah:
maka
kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin,
yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi
pakaian kepada mereka… (QS. Al-Maidah/5:89)
Kata
‘asyarah dalam ayat tersebut diciptakan hanya untuk bilangan sepuluh, tidak
lebih dan tidak pula kurang. Arti sepuluh itu sendiri sudah pasti tidak ada
kemungkinan pengertian lain. Begitulah dipahami setiap lafal khas dalam
al-Qur’an, selama tidak ada dalil yang memalingkannya kepada pengertian lain
seperti makna majazi (metafora).
a)
Hukum Lafazh Khash
Lafazh
yang terdapat pada nash syara’ menunjukkan satu makna tertentu dengan pasti
selama tidak ada dalil yang mengubah maknanya itu. Dengan demikian, apabila ada
suatu kemungkinan arti lain yang tidak berdasar pada dalil, maka ke-qath’i-an
dilalahnya tidak terpengaruh[3]
Apabila lafazh khas dikemukakan dalam
bentuk mutlaq, tanpa batasan apapun, maka lafazh itu memberi faedah ketetapan
hukum secara mutlaq,selama tidak ada dalil yang membatasinya.
Apabila lafazh itu dikemukakan
dalam bentuk perintah, maka ia memberkan faedah berupa hukum wajib bagi yang
diperintahkan (ma’mur bih), selama tidak ada dalil yang memalingkannya pada
makna yang lain.
Apabila lafazh itu dikemukakan
dalam bentuk larangan (nahy), ia memberikan faedah berupa hukum haram terhdap
hal yang dilarang itu, selama tidak ada qarinah (indikasi) yang memalingkan
dari hal itu.
Atas dasar itu, maka kata salasatin pada firman Allah
SWT. Yang berbunyi:
Mengandung pengertian khas, yang tidak mungkin
mengandung arti kurang atau lebih dari makna yang dikehendaki oleh lafazh itu
sendiri, yaitu tiga. Oleh karena itu, dilalah maknanya adalah qatiyah.
b) Macam-macam Lafazh Khas
Lafazh
khas itu bentuknya banyak, sesuai dengan keadaan dan sifat yang dipakai pada
lafazh itu sendiri. Ia kadang-kadang berbentuk mutlaq tanpa dibatasi oleh suatu syarat atau qayyid apapun, kadang-kadang berbentuk muqayyad, yakni dibatasi oleh qayyid,
kadang-kadang berbentuk amr (perintah),
dan kadang-kadang berbentuk nahy (larangan).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Lafadz
‘am (umum) ialah lafadz yang diciptakan untuk pengertian umum sesuai dengan
pengertian lafadz itu sendiri tanpa dibatasi dengan jumlah tertentu
Lafaz
khas adalah lafaz yang mengandung satu pengertian secara tunggal atau beberapa
pengertian yang terbatas
Pembagian
‘am
1.
Lafal
umum yang dikehendaki keumumannya karena ada dalil yang menunjukkan tertutupnya
kemungkinan ada takhsis (pengkhususan).
2.
Lafal
umum pada hal yang dimaksud adalah makna khusus karena ada indikasi yang
menunjukkan makna seperti itu
3.
Lafal
umum yang terbebas dari indikasi baik menunjukkan bahwa yang di maksud adalah
makna umumnya atau adalah sebagian cakupannya
Setiap
lafaz yang menunjukkan arti tunggal itulah lafaz khas. Dan menurut kesepakatan
para ulama, bahwa setiap lafaz yang khas menunjukkan pengertian yang qath’i (pasti), yakni tidak mengandung
kemungkinan-kemungkinan lain dalam pengertiannya.
Hukum lafazh khas
Apabila lafazh khas dikemukakan dalam bentuk
mutlaq, tanpa batasan apapun, maka lafazh itu memberi faedah ketetapan hukum
secara mutlaq, selama tidak ada dalil
yang membatasinya.
Apabila
lafazh itu dikemukakan dalam bentuk perintah, maka ia memberikan faedah berupa
hukum wajib bagi yang diperintahkan (ma’mur bih), selama tidak ada dalil yang
memalingkannya pada makna yang lain.
Apabila
lafazh itu dikemukakan dalam bentuk larangan (nahy), ia memberikan faedah
berupa hukum haram terhadap hal yang dilarang itu, selama tidak ada qarinah (indikasi) yang memalingkan dari
hal itu.
[1] Satria
Effendi, Ushul fiqh, (Jakarta:
Kencana, 2008), hlm.196
[2]Juhaya S. Praja, IlmuUshul
Fiqh, (Bandung: Cv Pustaka Setia, 2010), hlm.193
Tidak ada komentar:
Posting Komentar