Minggu, 13 November 2016

MAKALAH 'AM & KHAS (USHUL FIQH)



‘AM & KHOS

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
 “Ushul Fiqih”

Dosen Pengampu:
Mohammad Asy’ari M.HI

 

Disusun Oleh :

MA'MA MUMAJAD             9321.356.16

PROGRAM STUDI         PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) KEDIRI
2016

Salah satu unsur penting yang digunakan sebagai pendekatan dalam mengkaji Islam adalah Ilmu Ushul Fiqh, yaitu ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah yang dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum-hukum syari’at yang bersifat amaliyah yang diperoleh melalui dalil-dalil yang rinci. Melalui kaidah-kaidah Ushul akan diketahui nash-nash yang syara’ dan hukum-hukum yang ditunjukkannya.
Materi ini yang banyak dibahas secara mendalam oleh Ulama Ushul Fiqh sejak dulu, karena masalah ini sering melahirkan perbedaan pendapat diantara mereka. perbedaan tersebut terjadi karena berhubungan dengan kedudukan Hadis-hadis Ahad dengan keumuman Al-Qur’an, dan kedudukan Qiyas terhadap nash-nash yang bersifat umum.
Dari segi cakupan lafadz terhadap satuannya dibagi menjadi bentuk yang umum (‘am) dan Khusus (khash). Sedang dari segi sifat dibagi menjadi bentuk yang muthlaq dan muqayyad.                                                                                  

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dan pembagian lafal ‘Am ?
2.      Apa pengertian Khas ?
3.      Apa pengertian, hukum, dan kaidah tentang Amr ?

C.    Tujuan Rumusan Masalah
1.      Untuk mengetahui pengertian, bentuk-bentuk, dan pembagian lafal ‘Am
2.      Untuk mengetahui pengertian Khas, dan pembagian Mukhasis
3.      Untuk mengetahui pengertian, bentuk-bentuk, hukum, dan kaidah tentang Amr


BAB II
PEMBAHASAN

A.    ‘Am
Seperti disimpulkan  Muhammad Adib Saleh, lafadz ‘am (umum) ialah lafadz yang diciptakan untuk pengertian umum sesuai dengan pengertian lafadz itu sendiri tanpa dibatasi dengan jumlah tertentu[1]
Pembahasan Lafazh ‘am dalam ilmu Ushul fiqh mempunyai kedudukan tersendiri, karena Lafazh ‘am mempunyai tingkat yang luas serta menjadi ajang perdebatan pendapat ulama dalam menetapkan hukum. Dipihak lain, sumber hukum Islam pun, Al-Qur’an dan sunnah, dalam banyak hal memakai lafazh umum yang bersifat universal. Lafaz ‘am ialah suatu lafaz yang menunjukkan satu makna yang mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu[2]
Maka yang dimaksud dengan ‘am yaitu suatu lafadz yang dipergunakan untuk menunjukkan suatu makna yang pantas (boleh) dimasukkan pada makna itu dengan mengucapkan sekali ucapan saja. Seperti kita katakan “arrijal”, maka lafadz ini meliputi semua laki-laki.

a.      Lafaz-lafaz ‘Am
o   Kullun, jami’un, kaffatun dan ma’syara.
o   Man, Maa dan Aina pada Majaz
o   Man, Maa, Aina dan Mata untuk Istifham (pertanyaan)
o   Ayyu
o   Nakirah sesudah naïf
o   Isim maushul
o   Idhafah

b.      Dilalah Lafazh ‘Am
Para Ulama sepakat bahwa lafazh ‘am yang disertai qarinah (indikasi) yang menunjukkan penolakan adanya takhsis adalah qat’i dilalah. Mereka pun sepakat bahwa lafazh ‘am yang disertai qarinah yang menunjukkan bahwa yang dimaksudnya itu khusus, mempunyai dilalah yang khusus pula.  Yang menjadi perdebatan pendapat disini ialah lafazh ‘am yang mutlaq tanpa disertai suatu qarinah yang menolak kemungkinan adanya takhsis, atau tetap berlaku umum yang mencakup satuan-satuannya.
Menurut Hanafiyah dilalah ‘am itu qath’i, yang dimaksud qath’i menurut hanafiyah ialah :
Contoh mengharamkan memakan daging yang disembelih tanpa menyebut basmalah, karena adanya firman Allah yang bersifat umum, yang berbunyi:
وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْ
“dan janganlah kamu memakan binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya”. (Al-An`âm:121)
4.    Macam-macam lafadz ‘am
a.    Lafadz ‘am yang dikehendaki keumumannya karena ada dalil atau indikasi yang menunjukkan tertutupnya kemungkinan ada takhshish (pengkhususan). Misalnya:
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ            
Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lohmahfuz).( Hud:6).
Yang dimaksud adalah seluruh jenis hewan melata, tanpa kecuali.
b.    Lafadz ‘am tetapi yang dimaksud adalah makna khusus karena ada indikasi yang menunjukkan makna seperti itu. Contohnya:
مَا كَانَ لِأَهْلِ الْمَدِينَةِ وَمَنْ حَوْلَهُمْ مِنَ الْأَعْرَابِ أَنْ يَتَخَلَّفُوا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ وَلَا يَرْغَبُوا بِأَنْفُسِهِمْ عَنْ نَفْسِهِ
Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badui yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul. (At-Taubah: 120).
Yang dimaksud ayat tersebut bukan seluruh penduduk Mekah, tapi hanya orang-orang yang mampu.
c.    Lafadz ‘am yang terbebas dari indikasi yang dimaksud makna umumnya atau sebagian cakupannya. Contoh:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.( Al-Baqarah: 228).
Lafadz ‘am dalam ayat tersebut adalah al-muthallaqat (wanita-wanita yang ditalak), terbebas dari indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah makna umum atau sebagian cakupannya.
B.     Khas
Setiap lafaz yang menunjukkan arti tunggal itulah lafaz khas. Dan menurut kesepakatan para ulama, bahwa setiap lafaz yang khas menunjukkan pengertian yang qath’i (pasti), yakni tidak mengandung kemungkinan-kemungkinan lain dalam pengertiannya.
·         Contoh lafazh khas
Adalah ayat 89 surat Al-maidah:

maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka… (QS. Al-Maidah/5:89)
Kata ‘asyarah dalam ayat tersebut diciptakan hanya untuk bilangan sepuluh, tidak lebih dan tidak pula kurang. Arti sepuluh itu sendiri sudah pasti tidak ada kemungkinan pengertian lain. Begitulah dipahami setiap lafal khas dalam al-Qur’an, selama tidak ada dalil yang memalingkannya kepada pengertian lain seperti makna majazi (metafora).
a)      Hukum Lafazh Khash
Lafazh yang terdapat pada nash syara’ menunjukkan satu makna tertentu dengan pasti selama tidak ada dalil yang mengubah maknanya itu. Dengan demikian, apabila ada suatu kemungkinan arti lain yang tidak berdasar pada dalil, maka ke-qath’i-an dilalahnya tidak terpengaruh[3]
           Apabila lafazh khas dikemukakan dalam bentuk mutlaq, tanpa batasan apapun, maka lafazh itu memberi faedah ketetapan hukum secara mutlaq,selama tidak ada dalil yang membatasinya.
    Apabila lafazh itu dikemukakan dalam bentuk perintah, maka ia memberkan faedah berupa hukum wajib bagi yang diperintahkan (ma’mur bih), selama tidak ada dalil yang memalingkannya pada makna yang lain.
       Apabila lafazh itu dikemukakan dalam bentuk larangan (nahy), ia memberikan faedah berupa hukum haram terhdap hal yang dilarang itu, selama tidak ada qarinah (indikasi) yang memalingkan dari hal itu.
Atas dasar itu, maka kata salasatin pada firman Allah SWT. Yang berbunyi:
Mengandung pengertian khas, yang tidak mungkin mengandung arti kurang atau lebih dari makna yang dikehendaki oleh lafazh itu sendiri, yaitu tiga. Oleh karena itu, dilalah maknanya adalah qatiyah.

b)      Macam-macam Lafazh Khas

Lafazh khas itu bentuknya banyak, sesuai dengan keadaan dan sifat yang dipakai pada lafazh itu sendiri. Ia kadang-kadang berbentuk mutlaq tanpa dibatasi oleh suatu syarat atau qayyid apapun, kadang-kadang berbentuk muqayyad, yakni dibatasi oleh qayyid, kadang-kadang berbentuk amr (perintah), dan kadang-kadang berbentuk nahy (larangan).



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Lafadz ‘am (umum) ialah lafadz yang diciptakan untuk pengertian umum sesuai dengan pengertian lafadz itu sendiri tanpa dibatasi dengan jumlah tertentu
Lafaz khas adalah lafaz yang mengandung satu pengertian secara tunggal atau beberapa pengertian yang terbatas
  Pembagian ‘am
1.                Lafal umum yang dikehendaki keumumannya karena ada dalil yang menunjukkan tertutupnya kemungkinan ada takhsis (pengkhususan).
2.                Lafal umum pada hal yang dimaksud adalah makna khusus karena ada indikasi yang menunjukkan makna seperti itu
3.                Lafal umum yang terbebas dari indikasi baik menunjukkan bahwa yang di maksud adalah makna umumnya atau adalah sebagian cakupannya
Setiap lafaz yang menunjukkan arti tunggal itulah lafaz khas. Dan menurut kesepakatan para ulama, bahwa setiap lafaz yang khas menunjukkan pengertian yang qath’i (pasti), yakni tidak mengandung kemungkinan-kemungkinan lain dalam pengertiannya.
  Hukum lafazh khas
      Apabila lafazh khas dikemukakan dalam bentuk mutlaq, tanpa batasan apapun, maka lafazh itu memberi faedah ketetapan hukum secara mutlaq, selama tidak ada dalil yang membatasinya.
      Apabila lafazh itu dikemukakan dalam bentuk perintah, maka ia memberikan faedah berupa hukum wajib bagi yang diperintahkan (ma’mur bih), selama tidak ada dalil yang memalingkannya pada makna yang lain.
      Apabila lafazh itu dikemukakan dalam bentuk larangan (nahy), ia memberikan faedah berupa hukum haram terhadap hal yang dilarang itu, selama tidak ada qarinah (indikasi) yang memalingkan dari hal itu.




[1] Satria Effendi, Ushul fiqh, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm.196
[2]Juhaya S. Praja, IlmuUshul Fiqh, (Bandung: Cv Pustaka Setia, 2010), hlm.193
[3]  Juhaya S. Praja, Ilmu Ushul Fiqh,…, hlm.187
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Analisis Jurnal yang benar dan Baik By: Mumajad El Basyir

Nama : MA’MA MUMAJAD NIM : 932135616 Mata kuliah : Pengembangan Pendidikan Nonformal/Informal Keagamaan. Instansi.         : Instit...