Nama : Ma'ma Mumajad
Nim : 932135616
Institut Agama Islam Negeri Kediri
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sebagaimana materi yang disampaikan dalam kelas bahwa lembaga pendidikan yang ada di Indonesia terdiri atas formal, informal, dan nom formal. Tentu kita telah mengetahui pendidikan formal adalah pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang dikelola oleh pemerintah/ swasta. Lain halnya dengan pendidikan non formal.
Pendidikan non formal adalah pendidikan yang tidak terstruktur dan dapat dilakukan secara berjenjang tapi tidak secara resmi dan materinya bersifat penguatan pada lembaga pendidikan formal. Sedangkan pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Dalam penerapannya, banyak problematika yang terjadi.
Problematika adalah berbagai personal personal sulit yang dihadapi dalam proses pemberdayaan, baik yang datang dari individual (factor internal) maupun dalam upaya pemberdayaan SDM atau guru dalam dunia pendidikan.
Pendidikan Islam diarahkan kepada usaha untuk memberdayakan masyarakat agar mampu mengembangkan potensi fitrah manusia hingga ia dapat memerankan diri secara maksimal sebagai pengabdi Allah yang taat. Dalam prosesnya, suatu lembaga Islam pasti tidak bisa bisa dipisahkan dari sebuah problematika. Tinggal bagaimana lembaga tersebut nantinya dalam menyikapi problem yang ada. Ketika sebuah problematika dapat ditemukan solusinya oleh lembaga itu sendiri, maka lembaga tersebut akan mampu bersaing di era modern ini.
Dilatarbelakangi hal diatas penulis membuat makalah berjudul “Problematika Pendidikan Informal/Non Formal Keagamaan” yang diharapkan dapat dijadikan bahan referensi dan sumbangsih pengetahuan tentang Pengembangan Pendidikan Informal/Non Formal Keagamaan .
Rumusan Masalah
Berdasarkan latarbelakang diatas dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut :
Bagaimana analisis kasus mengenai pendidikan Informal/Non Formal Keagamaan di Indonesia ?
Bagaimana Alternatif solusi pemecahan masalah dari kasus tersebut ?
BAB II
PEMBAHASAN
Analisis kasus mengenai pendidikan Informal/Non Formal Keagamaan di Indonesia
Pendidikan Informal
Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 Bab I pasal 1 ayat 13 bahwa pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Dari pengertian tersebut dapat diambil salah satu contoh pendidikan informal yaitu keluarga. Lingkungan keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama, karena dalam lingkungan inilah anak pertama-tama mendapatkan pendidikan dan bimbingan, dikatakan pula sebagai lingkungan yang utama, karena sebagian besar dari kehidupan anak adalah di dalam keluarga, sehingga pendidikan yang paling banyak diterima oleh anak adalah dalam keluarga. Tugas utama dari keluarga bagi pendidikan anak adalah akhlak dan pandangan hidup keagamaan. Sifat dan kepribadian anak sebagian besar diambil dari kedua orang tuanya dan dari anggota keluarga yang lain.
Peran orangtua sudah semestinya memberikan pendidikan sejak anak usia dini. Pendidikan yang dapat diberikan oleh orangtua bias berupa pendidikan tentang agama, social, ekonomi, budaya dan lain sebagainya. Pendidikan merupakan hal yang penting untuk pertumbuhan dan perkembangan anak, terutama pemahaman tentang ekonomi, seorang anak mulai diperkenalkan dengan ekonomi dan mulai belajar konsep pendidikan ekonomi seperti menentukan pilihan dan memenuhi kebutuhan hidupnya dalam lingkungan keluarga sejak dini.
Dari temuan hasil yang dilakukan oleh peneliti, proses pendidikan informal yang terjadi pada keluarga petani pada umumnya para orangtua mendidik dan membimbing anak-anaknya mulai dari saat mereka masih kecil, para orangtua/petani dalam mendidik anak-anaknya mengajarkan tentang keagamaan dalam hal belajar mengaji dan sholat, serta ketika anak-anak mereka telah bersekolah, para orangtua juga kerap memperingatkan anak-anaknya untuk rajin belajar dan mengerjakan tugas yang telah diberikan oleh guru disekolah. Sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan fisik dari anak, orangtua/petani dalam tugas dan kewajibannya dalam mendidik anak mereka menuntun anak-anaknya untuk menjadi orang yang berbakti kepada kedua orangtua, serta berdikap baik terhadap sesame, dan memantau pergaulan dari anak tersebut agar anak-anak mereka tidak bergaul bebas.
Orangtua memiliki anak usia sekolah akan tetapi banyak yang putus sekolah, sehingga anak hanya mengandalkan pendidikan dari orangtuanya dan lingkungan sekitar, salah satu factor penyebab putus sekolah ialah karena kurangnya pemahaman tentang pentingnya pendidikan bagi anak, biaya dan desakan kebutuhan ekonomi sehari-hari, sehingga banyak anak-anak dari petani yang memilih membantu orangtua dalam hal memenuhi kebutuhan sehari-hari daripada bersekolah.
Dalam proses pendidikan informal keluarga petani tak lepas dari pendidikan ekonomi yang terbentuk secara alami, sebab biasanya pendidikan ekonomi dilingkungan keluarga tak lepas dari pemahaman tentang nilai uang, sikap serta perilaku anak untuk mengatur dan memanfaatkan uang dengan baik. Ditinjau dari kondisi perekonomian petani yang masih rendah, orang tua dalam memberi pemahaman terhadap anaknya lebih memberi kesadaran akan sulitnya cara untuk mendapatkan uang, sehingga terbukti pada kenyataanya banyak anak petani lebih memilih bekerja membantu orang tua dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari daripada bersekolah.
Anak petani lebih mementingkan kehidupannya yang dijalani sekarang daripada kehidupan untuk masa depannya kelak, mereka lebih memilih membantu orang tua dalam memenuhi perekonomian keluarga, dalam hal bekerja, dan membantu merawat dan memanen tanaman jagung orang tuanya, sehingga pada akhirnya menghasilkan uang untuk memenuhi kehidupannya sehri-hari.
Dari temuan hasil yang dilakukan oleh peneliti, keluarga petani mempunyai pandangan bahwa pendidikan bagi anak kurang begitu penting, mereka menyekolahkan anak hanya sebatas bisa membaca dan menulis saja, agar anak mereka setidaknya punya bekal untuk tidak mudah dibodoh-bodohi oleh orang lain.
Sesuai dengan hasil penelitian Saputro bahwa Tingkat kesadaran orang tua akan arti penting pendidikan terhadap anak masih tergolong sangat rendah. Banyak orang tua yang masih beranggapan bahwa pendidikan hanya sebatas membekali anaknya agar dapat membaca dan menulis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 95,24% responden beranggapan bahwa pendidikan berguna agar anak dapat membaca dan menulis.
Selain problematika diatas, ada pendapat lain yang mengemukakan bahwa dalam kebijakan pendidikan nasional tentang pendidikan informal masih ada problem, diantaranya:
Kurang adanya perhatian pemerintah terhadap dana dan kesejahteraan pada pendidikan informal secara maksimal.
Kurang adanya perhatian pemerintah terhadap kualitas dari lembaga pendidikan informal.
Pendidikan Non Formal
Pendidikan Islam non formal adalah pendidikan yang bercirikan khusus keagamaan Islam. Yang berlangsung diluar struktur pendidikan Islam secara formal. Tujuan dari pendidikan Islam non formal adalah untuk membangun manusia yang mampu memahami ajaran- ajaran Islam berdasarkan studi tekstual dan kemudian dapat diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Selain itu, pendidikan Islam juga merupakan wahana dakwah Islamiyah yang murni institusi keagamaan, maka dari itu peran sentralnya adalah pada pembinaan dan peningkatan kualitas hidup umat Islam sesuai tuntutan ajaran agama.
Orientasi tersebut dalam perkembangannya mengalami perubahan sesuai tuntutan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, orientasi diatas rasanya tidak relevan lagi apabila kalau dikaitkan dengan kecenderungan kebutuhan masyarakat di era saat ini, dimana salah satu faktor yang mendorong manusia untuk memilih pendidikan baik formal, informal, dan non formal adalah untuk kebutuhan hidupnya dimasa depan yang ditekankan pada bagaimana memperoleh pekerjaan. Hal ini lah yang menyebabkan muncul beberapa problematika dalam pendidikan non formal dalam Islam. Adapun beberapa problematika antara lain : adanya kelemahan di dalam menentukan diagnose perencanaan program, adanya program yang tidak konsepsional (asal dibuat dan dilaksanakan), adanya beberapa program kegiatan yang boleh di bilang sama tetapi dilaksanakan oleh beberapa pihak sehingga tidak efektif, kurang adanya kesadaran dan tanggungjawab terhadap program yang dilaksanakan, banyaknya kebutuhan yang hendak dilayani, pola pikir konservatif, tidak adanya kemampuan warga belajar, dan sebagainya.
Sedangkan lebih spesifik lagi beberapa contoh problematika yang berkaitan dengan berkenaan dengan penyelenggaraan PAUD antara lain:
Masih belum memadainya kemampuan tutor dalam pengelolaan Pembelajaran, kreativitas, masih rendah, insentif yang diterima tutor masih sangat minim, pembinaan dari Diknas terhadap guru masih rendah.
Proses pembelajaran di lembaga-lembaga PAUD masih belum banyak bermuatan inovatif dalam mendukung potensi dan kreativitas warga belajar PAUD.
Sarana dan fasilitas belajar sangat terbatas, dan sebagian besar dalam Kondisi yang tidak layak untuk digunakan. Di samping itu kurang media pembelajaran dan alat-alat peraga pada lembaga- lembaga PAUD terutama di daerah-daerah pedalaman.
Dukungan pemerintah dalam rangka mendorong kesadaran orang tua untuk memberi kesempatan kepada anak mendapat layanan pendidikan PAUD cukup baik. Namun dukungan pemerintah terhadap lembaga PAUD dari sisi penyelenggaraan masih kurang, dan sangat terbatas. Sementara Kesadaran masyarakat untuk mendukung Dapatkan PAUD cukup baik, namun dukungan dalam bentuk Berpartisipasi dalam Keuangan Daerah terbatas.
Dari sisi pendanaan umum lembaga-lembaga PAUD masih Diharapkan pada partisipasi orang tua dan belum dapat mendukung kebutuhan lembaga dan proses pembelajaran PAUD.
Sedangkan masalah-masalah yang berkaitan dengan berkenaan dengan penyelenggaraan Pendidikan Keaksaraan Fungsional (KF) adalah sebagai berikut:
Kompetensi yang dibutuhkan para tutor untuk mengaktualisasi proses Pembelajaran masih terbatas, dan hal ini terkait dengan masih jumlah tutor yang memiliki latar pendidikan yang kurang sesuai dengan mata pelajaran yang dibinanya. Masalah tutor ini juga terkait dengan disiplin yang masih rendah.
Insentif yang diterima guru rendah dan tidak sesuai dengan respons yang harus diselesaikan oleh para tutor.
Motivasi dan minat belajar warga belajar rendah, dan disiplin juga masih rendah dan terkait dengan tidak ada fasilitas untuk mendukung pembelajaran satu faktor pendorong warga belajar.
Proses pembelajaran masih belum mencerminkan model-model inovatif, pelaksanaannya statistik dan kurang keberadaan interaksi dan komunikasi antara warga belajar dan tutor juga sesama warga belajar.
Sarana dan fasilitas belajar sangat terbatas, dukungan media dan alat- alat peraga umumnya tidak tersedia, demikian pula modul-modul belajar sangat terbatas.
Masalah pembiayaan dalam penyelenggaraan KF sangat dirasakan. Sampai saat ini penyelenggaraan KF yang diterbitkan menggunakan dana seadanya, dan lebih banyak berwujud pengabdian para tutor.
Sedangkan masalah-masalah yang berkaitan dengan berkenaan dengan penyelenggaraan Pendidikan Kesetaraan adalah :
Terbatasnya buku-buku panduan untuk para tutor, dan hal ini Terkait dengan rendahnya pemahaman para tutor di dalam menyusun perangkat pembelajaran, khusus silabus dan RPP. Di sisi berkenaan dengan tutor adalah insentif rendahnya yang mereka terima.
Kesadaran akan pentingnya proses belajar masih rendah Jadi, Nyata sebagian besar warga belajar (sebagian besar di daerah) lebih banyak terfokus pada pekerjaan dari pada belajar. Dalam pada itu pula sulitnya menyelaraskan waktu belajar karena keragaman aktivitas atau pekerjaan yang ditekuni warga belajar.
Pada pusat kegiatan belajar fasilitas yang memadai, umumnya tidak memiliki ruang baca / perpustakaan, modul, media dan alat peraga sangat terbatas.
Berkaitan dengan proses pembelajaran dan kurang menarik karena tidak tersedianya alat peraga dan media belajar, frekuensi pertemuan belajar sangat kurang, Jadi kompetensi yang harus disetujui oleh siswa menjadi sulit untuk diwujudkan, di samping itu masih rendahnya disiplin warga belajar dalam mengikuti kegiatan pembelajaran.
Bantuan pemerintah terhadap program pendidikan kesetaraan pada prinsipnya sudah baik. Dukungan terhadap penyelenggaraan dan pembinaan masih sangat rendah, terutama Berkaitan dengan bantuan finansial serta bantuan-bantuan fasilitas dan alat-alat pendukung kegiatan belajar. Sedangkan masyarakat Umumnya menyambut sangat positif program kesetaraan, namun belum dapat mendukung terbatas dari warga belajar.
Dari beberapa contoh diatas, penulis akan mengupas terkait problematika yang ada pondok pesantren Lirboyo Kediri. Pondok pesantren Lirboyo Kediri merupakan pondok pesantren yang didirikan oleh kyai Manab pada tahun 1910 M yang berlokasi di kelurahan Lirboyo, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri. Pada awal berdirinya pesantren Lirboyo, hamper semua pengajian 12 kitab ditangani oleh Kyai Manab langsung.
Pada tahun 1926, santri pesantren Lirboyo mencapai sekitar 80 orang. Tiga tahun berikutnya mencapai 200 an dan dipertengahan tahun 1930-an mencapai 500 orang. Pada masa colonial jepang jumlah santri lirboyo yang tercatat adalah 750 orang, jumlah ini terus bertambah seiring berjalannya waktu.
Ketika santri pesantren Lirboyo bertambah banyak dan sebagian dari mereka ternyata belum dapat membaca dan menulis, maka dua sistem pengajaran (bandongan dan sorogan) yang waktu itu digunakan dianggap tidak mumpuni. Hal ini dikarenakan sistem bandongan (santri menulis makna dari kyai yang sedang membaca kitab kuning) membutuhkan keterampilan menulis dan dasar gramatika Bahasa Arab untuk dapat mengikutinya, sementara sistem sorogan (santri satu persatu membaca kitab secara langsung dihadpan kyai) mengharuskan jumlah santri yang sedikit untuk setiap gurunya. Untuk mengatasi hal ini maka mulai permulaan tahun 1920-an, pesantren Lirboyo mengupayakan penggunaan sistem klasikal yang berbentuk madrasah.
Pembangunan madrasah terus berjalan hingga tahun 1933. Madrasah harus gulung tikar. Tersendatnya proses pendirian madrasah ini disebabkan oleh dua hal, pertama, rendahnya minat santri untuk mengikuti pembelajaran dengan sistem klasikal yang waktu itu merupakan sistem baru dikalangan pesantren dan dianggap mencontoh model sekolah yang dilaksanakan pemerintah kolonial Belanda. Kedua, adanya aturan dari pemerintah Kolonial Belanda yang membatasi lingkaran lembaga pendidikan agama yang dikelola kyai dengan Wide School Ordonantie yang dikeluarkan pada tahun 1925. Ordonansi ini berupaya memberantas serta menutup madrasah yang tidak ada izinnya atau memberi pelajaran yang tidak disukai pemerintah.
Setelah itu, para senior Lirboyo mengusahakan agar madrasah hidup kembali tahun 1933, lalu madrasah ini terus bertahan dan banyak mengalami kemajuan hingga kini.
Pada masa Departemen Agama dibawah kendali Mukti Ali, jumlah santri lirboyo mengalami penurunan karena diberlakukannya kebijakan bahwa komposisi kurikulum madrasah harus sama dengan sekolah, yakni 70% mapel umum dan 30% mapel agama. Hal ini menyebabkan ijazah diniyah yang semula dapat digunakan untuk melanjutkan ke IAIN tidak dapat dimanfaatkan lagi. Selain itu motivasi santri juga rendah, karena mereka belajar sebagian besar hanya berorientasi pada ijazah.
Presiden pertama RI, Soekarno pernah menyatakan bahwa pesantren adalah lembaga yang ketinggalan zaman dan menutup diri. Sejak saat itu, masyarakat mulai mengaitkan sekolah dengan lapangan kerja. Oleh karena itu, jumlah pemuda yang tertarik memasuki pesantren semakin menurun yang mengakibatkan pesantren kecil pada masa 1950-an mati. Selain itu, KH Ma’ruf zainuddin menyatakan bahwa lulusan madrasah akan menjadi orang yang serba tidak siap dan kalah, jika meneruskan ke fakultas umum akan kalah dengan lulusan sekolahan, jika meneruskan ke fakultas agama akan kalah dengan fakultas diniyah.
Alternatif solusi pemecahan masalah
Pendidikan Informal
Langkah-langkah yang harus dibenahi terkait aplikasi dari kebijakan pendidikan informal diatas, diantaranya:
Pemerintah seharusnya memberikan hak yang sama dalam semua jenjang dan jenis pendidikan, baik formal, informal dan nonformal.
Pemerintah seharusnya memberikan hak yang sama didalam membuka kesempatan ruang dan waktu baik dari output pendidikan informal maupun nonformal.
Pemerintah seharusnya memberikan semacam pembinaan ditiap desa yang diberikan kepada para orangtua untuk menyadarkan akan pentingnya pendidikan untuk masa depan anak-anaknya.
Pendidikan Non Formal
Untuk mewujudkan program-program pendidikan nonformal, Khusus Pendidikan PAUD, Keaksaraan Fungsional dan Pendidikan Kesetaraan yang lebih baik di masa-masa yang akan datang perlu dilakukan Percakapan lebih intensif dan intensif dengan pengkajian- pengajar, pemerintah, pengajar daerah, terutama sekali aparat desa dinamika dan masalah-masalah nyata pendidikan non formal di lapangan.
Keikutsertaan para tutor, pengelola dan warga belajar di dalam berbagai bentuk pelatihan perlu diintensifkan agar para pengelola, tutor dan warga belajar perlu mendapat perhatian dan mendapat kesempatan untuk mengembangkan diri, menghabiskan dari sisi kebutuhan finansial- Kebutuhan mereka belum tercapai. Perhatian yang lebih serius terhadap peningkatan diwujudkan. Demikian pula, sungguh-sungguh untuk membantu penyediaan media, alat-alat peraga, buku-buku panduan guru, dan fasilitas- fasilitas pendukung kegiatan pembelajaran lain harus benar-benar menjadi perhatian serius dari semua pihak terkait.
Dalam rangka meningkatkan dan menjaga pesantren Lirboyo agar tetap eksis, maka solusi yang diberikan antara lain :
Dibangunnya Badan Pembina Kesejahteraan Pondok Pesantren Lirboyo (BPK P2L) tahun 1966 dalam rangka menghimbau pada anak cucu KH Abdul Karim agar selalu bersatu dalam mengembangkan pesantren Lirboyo, sehingga lahirlah 9 unit pesantren yang chiri khas nya tidak mengganggu pesantren induk.
Mendirikan Madrasah Hidayatul Mubtadi’in (MHM) untuk mengatasi santri yang kesulitan penggunaan system bandongan/ wetonan dan sorogan.
Untuk merespon kebijakan Departemen Agama, pesantren lirboyo tidak merubah sistem pendidikannya, tetapi lebih meningkatkan kwalitas lulusannya dengan menambah satu jenjang pendidikan SLTA yang tetap hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama. Keberanian ini dikarenakan pesantren lirboyo sudah memiliki perguruan tinggi yaitu UIT Kediri semenjak tahun 1965.
Untuk mengatasi santri yang hanya berorientasi pada ijazah dan tetap mempertahankan kwalitas pembelajaran, maka MHM menetapkan bahwa seluruh santri MHM dilarang mengikuti ujian persamaan dan sekolah diselain MHM kecuali tingkat Aliyah diperbolehkan hanya kuliah di IAIT Kediri.
Menolak mu’adalah (penyetaraan) ijazah yang disosialisasikan oleh Departmenen Agama dikhawatirkan keikhlasan dan motivasi santri mengalami penurunan. Akan tetapi, pada akhirnya MHM Lirboyo akhirnya menerima mu’adalah pada masanya Menteri Agama Maftuh Basyuni dikarenakan salah satu zuriyah lirboyo gagal mendaftarkan diri menjadi calon legislative dikarenakan Depag Kota Kediri tidak bersedia melegalisasi ijazah dari MHM Lirboyo.
Pada tahun 1986 KH. Imam Yahya Mahrus mendirikan MTs dan MA HM Tribakti yang selanjutnya bernama HM al- Mahrusiyah dalam rangka bahwa pendirian dua madrasah tidak hanya berkorelasi dengan kewajiban tetapi juga untuk mempersiapkan kemampuan dan keterampilan dalam dunia kerja.
Mendirikan pesantren putri HM Putri al-Mahrusiyah yang selanjutnya memotivasi unit pesantren lain untuk membantah kekhawatiran turunnya kwalitas pendidikan di Pesantren Lirboyo manakala ada pesantren putri.
Didirikannya SD, SMP, dan SMA ar- Risalah agar tidak ketinggalan dengan lembaga lain serta santri tidak hanya menguasai ilmu agama tapi juga umum. Tetapi juga tidak menghilangkan madrasah diniyah yang menyebabkan Lirboyo dapat eksis sampai saat ini.
Pesantren ar- Risalah menggunakam sistem yang ketat, disiplin, dan biaya yang mahal untuk menumbuhkan kembali citra pesantren yang mulia dan berharga serta menepis anggapan masyarakat bahwa pesantren sebagai tempat penyembuhan anak bermasalah.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa problematika yang terjadi di lembaga pendidikan informal dan non formal keagamaan antara lain: orang tua kurang tanggap dengan pendidikan anak dan hanya beranggapan pendidikan anak cukup membaca dan menulis, kurang adanya perhatian pemerintah terhadap dana dan kesejahteraan pada pendidikan informal secara maksimal, kurang adanya perhatian pemerintah terhadap kualitas dari lembaga pendidikan informal, adanya kelemahan di dalam menentukan diagnose perencanaan program, adanya program yang tidak konsepsional (asal dibuat dan dilaksanakan), adanya beberapa program kegiatan yang boleh di bilang sama tetapi dilaksanakan oleh beberapa pihak sehingga tidak efektif, kurang adanya kesadaran dan tanggungjawab terhadap program yang dilaksanakan, banyaknya kebutuhan yang hendak dilayani, pola pikir konservatif, tidak adanya kemampuan warga belajar, dan sebagainya.
Analisis kami adalah mengenai problematika yang terjadi di pondok pesantren Lirboyo. Problematika yang terjadi antara lain: santri kesulitan dengan diterapkannya system bandongan dan sorogan karena kurangnya bekal, rendahnya minat santri untuk mengikuti pembelajaran dengan sistem klasikal, adanya aturan dari pemerintah Kolonial Belanda yang membatasi lingkaran lembaga pendidikan agama yang dikelola kyai, tuntutan Departemen Agama, tidak ada penyetaraan.
Untuk mengatasi beberapa masalah diatas, solusinya adalah Pemerintah seharusnya memberikan hak yang sama dalam semua jenjang dan jenis pendidikan, baik formal, informal dan nonformal, Pemerintah seharusnya memberikan hak yang sama didalam pendidikan informal maupun nonformal, Pemerintah seharusnya memberikan semacam pembinaan ditiap desa untuk menyadarkan akan pentingnya pendidikan untuk masa depan anak-anaknya, dibangunnya Badan Pembina Kesejahteraan Pondok Pesantren Lirboyo (BPK P2L) di Lirboyo, dibangunnya pesantren Hidayatul Mubtadi’in, dibangunnya MA, SD, SMP, SMA untuk mempersiapkan kemampuan dan keterampilan dalam dunia kerja.
Saran
Mengingat Pengembangan Pendidikan Informal/Non Formal Keagamaan merupakan salah satu matakuliah yang penting dan begitu luasnya materi dari Pengembangan Pendidikan Informal/Non Formal Keagamaan ini. Kami menyadari akan keterbatasan keilmuan serta pemahaman kami. Untuk itu, kami meminta dengan sangat agar Ibu dosen mau membantu menjelaskan dari isi makalah ini agar keilmuan yang didapat menjadi lebih sempurna.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Ali. Pembaharuan Pendidikan di Pesantren Lirboyo Kediri. Kediri: IAIT Press, 2008.
Arifin, Muzayyin. Kapita Selekta Pendidikan. Bumi Aksara: Jakarta, 2003.
Arnianti. Analisis Pendidikan Informal Keluarga Petani Jagung Kaitannya dengan Keinginan Menyekolahkan Anak. Makassar: Universitas Negeri Makassar, 2009.
Asran, Mastar. “Pemetaan Masalah- Masalah Pendidikan Nonformal di Kalimantan Barat: Implikasi Terhadap Peningkatan Akses Layanan Pendidikan Bermutu”. Jurnal Visi Ilmu Pendidikan. (2011). v0l. 5 no.2 : 448.
Darlisray, Ahmad. “Hakikat Pendidikan Islam: Telaah antara Hubungan Pendidikan Informal, nonformal, dan formal”. Jurnal Tarbiyah. (Januari-Juni 2017).Vol.XXIV, No.1: 86.
Tafsir, Ahmad. Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis Teoritis dan Praktis, Pendukung Azas. Bandung: Falah Production, 2004.
Wiboyo, Catur Hari. skripsi “Problematika Solusi Guru Dan Solusinya Bagi Peningkatan Kualitas Pendidikan Di Mtsn Nguntoroadi Kabupaten Wonogiri”. SURAKARTA: IAIN SURAKARTA, 2015.