CIVIL
SOCIETY (MASYARAKAT MADANI)
Disusun Untuk Memenuhi
Salah SatuTugas Pada Mata Kuliah
“Kewarganegaraan”
DosenPengampu:
Dr. H. Ilham Tohari, SH. MHI
DisusunOleh
:
Nadzila Puspitasari
Ma’ma Mumajad
JURUSAN : TARBIYAH
PROGRAM
STUDI : PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
KEDIRI
2016
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Seperti
yang telah ditulis sebelumnya pada pengertian civil society atau masyarakat
madani, bahwa wacana civil society merupakan konsep yang berasal dari
pergolakan politik dan sejarah masyarakat Eropa Barat yang mengalami proses
transformasi dari pola kehidupan feodal menuju kehidupan masyarakat industri
kapitalis. Konsep ini pertama kali lahir sejak zaman Yunani kuno. Jika
dicari akar sejarahnya dari awal, maka perkembangan wacana civil society dapat
di runtut dari masa Aristoteles. Pada masa ini (Aristoteles, 384-322 SM) Civil
Society dipahami sebagai sistem kenegaraan dengan menggunakan istilah koinoniah
politike, yakni sebuah komunitas politik tempat warga dapat terlibat
langsung dalam berbagai percaturan ekonom-politik dan pengambian
keputusan. Istilah ini juga dipergunakan untuk menggambarkan suatu
masyarakat politik dan etis dimana warga negara di dalamnya berkedudukan sama
di depan hukum.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian Civil Society?
2.
Bagaimana sejarah Masyarakat Madani?
3.
Apa karakteristik Masyarakat Madani?
C.
TUJUAN
1.
Untuk mengetahui pengertian Civil Society
2.
Untuk mengetahui sejarah Masyarakat Madani
3.
Untuk mengetahui karakteristik Masyarakat Madani
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Civil Society
Semenjak awal tahun 1990, konsep civil society menjadi
wacana di lingkungan akademik maupun aktivis gerakan social. Civil society
sering disbut masyarakat madani, masyarakat warga, masyarakat kewargaan,
masyarakat sipil, beradab, atau masyarakat berbudaya. Istilah civil society
berasal dari bahasa latin, yaitu civitas dei atau kota Illahi. Asal kata civil
adalah civilization (beradab). Civil society secara sederhana dapat
diartikan sebagai masyarakat beradab.[1]
Akan tetapi secara global bahwa yang di maksud dengan masyarakat
madani adalah sebuah kelompok atau tatanan masyarakat yang berdiri secara
mandiri di hadapan penguasa dan negara memiliki ruang publik ( publik sphere
) dalam mengemukakan pendapat adanya lembaga-lembaga mandiri yang dapat
menyalurkan aspirasi dan kepentingan publik. Yang perlu kita garis bawahi dalam pengertian masyarakat madani ini
adalah bahwa masyarakat tersebut mempunyai cita-cita agar rakyatnya aman,
nyaman dan sejahtera, serta system yang di gunakan cukup baik karena setiap
orang tidak harus menggantungkan dirinya kepada orang lain.[2]
Istilah masyarakat madani pertama kali dikemukakan oleh kelompok
Nurcholis Madjid (dan beberapa tokoh ICMI) yang berarti masyarakat yang
beradab, berakhlak mutlak, dan berbudi pekerti luhur. Madani dimaknai
oleh adanya nama kota Madinah yang di ungkapkan oleh istilah madaniyah,
tamadun, dan hadlarah yang berarti peradapan. Menurut piagam Madinah,
ada 10 prinsip pembangunan masyarakat madani, yaitu :
1)
Kebebasan Beragama
2)
Persaudaraan seagama dan keharusan untuk menanamkan sikap
solidaritas yang tinggi terhadap sesama
3)
Persatuan politik dalam meraih cita-cita bersama
4)
Saling membantu, dan semua orang mempunyai kedudukan yang sama
sebagai anggota masyarakat
5)
Persamaan hak dan kewajiban warga negara terhadap Negara
6)
Persamaan didepan hukum bagi setiap warga Negara
7)
Penegakan hukum
8)
Memberlakukan hukum adat yang tetap berpedoman kepada keadilan dan
kebenaran
9)
Perdamaian dan kedamaian
10)
Pengakuan hak atas setiap orang atau individu
Dengan demikian, maka makna masyarakat madani (civil society) pada
kelompok ini lebih menekankan kepada suatu kondisi masyarakat yang sangat
beradab dan bukan merupakan alat perjuangan untuk mengembangkan demokrasi atau
kedaulatan rakyat. Dengan kata lain, nuansa dari pemaknaan civil society ini
(yang diterjemahkan dengan masyarakat madani) lebih merupakan complement bagi Negara.
[3]
B.
Sejarah Masyarakat Madani
Perkembangan konsep
civil society , secara perlahan berkaitan tentang entitas Negara atau
masyarakat politik sebagai hasil dari kontrak social sebagai mana dikembangkan
oleh Thomas Hobbes, John Locke, Madanimaupun JJ. Rousseau. Terkait dengan hal
tersebut terdapat beberapa konsep tentang masyarakat sipil/ civil society
terutama terkait hubungannya dengan suatu Negara sebagai entitas yang otonom.
1.
Civil society menurut JJ. Rousseau, Jhon Locke, dan Thomas Hobbes
Perkembangan masyarakat sipil terkait
dengan relasi Negara atau masyarakat politik sebagai hasil kontrak social,
sebagaimana dikembangkan oleh Thomas Hobbes (1588-1679), Jhone Locke
(1632-1704), dan JJ. Rousseu (1712-1778). Terlepas dari perbedaan gagasan
diantara ketiganya, Jhone Locke dan JJ. Rouseeu pada intinya hendak
menggambarkan suatu bentuk masyarakat beradab sebagimana dicita-citakan oleh
Cicero dan Aristoteles
Namun demikian,
pendapat Jhon Locke dan Rouseeu tersebut berlaianan dengan apa yang dikemukakan
oleh Hobbes. Menurut Hobbes, masyarakat sipil identik dengan Negara, dan
merupakan wujud dari kekuasaan yang bersifat absoulut.
Namun ditengah perbedaan gagasan antara Hobbes, Rouessuue, dan Jhon
Locke, masih terdapat persamaan antara ketiganya., Hobbes, Rouessuue, maupun Jhon Locke tidak
membedakan antara masyarakat sipil (civil society), masyarakat politik
(political society), dan negara sebagai sebuah entitas yang terpisah dan
otonom.
2.
Civil Society menurut Adam
Ferguson
Menurut Adam, masyarakat sipil merupakan hasil dari pergeseran
peradaban dari masyarakat primitif-kasar menjadi masyarakat beradab yang
ditandai oleh kemajuan akal budi, pengetahuan, teknologi, dan industry
3.
Civil Society menurut Adam Smith
Masyarakat sipil menurut Adam Smith adalah sekelompok individu
penuh dengan kebajikan serta mampu mengatur diri sendiri, memiliki self
regulating dari aspek ekonomi. Peran Negara di wilayah politik akan
berdampak negative, sehingga perlu pembatasan terhadap peran Negara supaya
tidak masuk dan mengintervensi terlalu jauh dalam kehidupan masyarakat sipil.
Menurut Adam Smith, masyarakat sipil mwrupakan entitas politik yang terpisah
dari Negara, dan berperan dalam mengontrol Negara sebagai sebuah political
society
4.
Civil Society menurut Thomas Paine
Masyarakat sipil adalah ruang tempat para warga dapat mengembangkan
kepribadian dan membuka peluang bagi pemuas kepentingannya. Karena itu,
masyarakat sipil secara logis harus lebih kuat mengontrol Negara demi
terjaminnya keperluan warga Negara.
5.
Civil Society menurut Hegel dan Marx
Menurut Hegel, masyarakat sipil sesungguhnya merupakan produk dari
masyarakat borjuis, salah satu paket perjanjian kemasyarakatan yang
dipernetrasi oleh logika kapitalisme. Berbeda dengan Hegel yang melihat Negara sebagai pondasi bagi
terbentuknya Civil Society , Marx sebaliknya, Marx melihat civil society-lah
yang merupakan pondasi terbentuknya Negara.
6.
Civil Society menurut Gramsci
Meskipun Gramsci adalah penganut ajaran Marx, namun dalm konteks
civil society terdapat perbedaan antara Gramsci dan Karl Makx, Makx meletakkan
masyarakat sipil secara rigid pada tataran baris material dari hubungan
produksi kapitalis dan menyamakan dengan kelas borjuis. Sedangkan Gramsci
melihat masyarakat sipil sebagai suprastruktur, sedangkan insprastrukturnya
sadalah cara produksi atau system ekonomi masyarakat.
7.
Civil Society menurut Alexis-Charles-Henry de Tocqueville
Henry de Tocqueville berpendapat bahwa unsur-unsur politik dari
organisasi-organisasi masyarakat sipil memudahkan kesadaran yang lebih baik dan
rakyat yang lebih tercerahkan, yang bisa memilih dengan baik dalam voting,
berpastisipasi dalam politik, dan memastikan pemerintah yang lebih bertanggung
jawab.
8.
Civil Society menurut Jean Louse dan Andrew Arato
Masyarakat sipil menurut Jean Louse dan Andrew Arato dapat terwujud apabila setidaknya memenuhi 4
syarat atau kakakter utama, yaitu: otonom, wilayah publik yang bebas, wacana
publik, dan interaksi berdasarka prinsip-prinsip kewarganegaraan.
9.
Perkembangan Civil Society di Indonesia
Menurut Kutut Suwondo (2015) dilihat dari sudut pandang sifat
perkembangannya maka civil society di Indonesia dapat dikelompokkan kedalam 2 periodisasi
civil society, yaitu sebelum era reformasi dan sesudah era reformasi.[4]
a)
Civil Society Sebelum Era Reformasi
Dalam tulisan Kutut Suwondo (2005) tentang civil society dan
upaya demokrasi menyatakan bahwa pada masa orde baru (sampai pertengahan 1990-an)
civil society tidak mengalami perkembangan yang berarti. Hal tersebut
disebabkan karena pendekatan yang digunakan oleh Negara dalam menjalin relasi
dengan masyarakat sipil lebih menggunakan pendekatan keamanan, dengan alasan
stabilitas politik dan keamanan.
Selain itu, pendekatan keamanan tersebut mengakibatkan terbitnya
berbagai regulasi yang bersifat represif yang pada gilirannya menyebabkan
ketidak berdayaan civil society. Selain terbitnya sejumlah regulasi yang
memperlemah posisi tawar masyarakat, juga muncul berbagai rekayasa politik yang
memperlemah partai politik yang kritis terhadap pemerintah.
Lemahnya perkembangan civil society pada periode diatas selain
disebabakan oleh munculnya sejumlah peraturan dan tindakan yang bersifat
menekan, juga disebabkan oleh beberapa hal lain, yaitu: (1) tidak adanya kelas
menengah yang independent; (2) lemahnya LSM yang memberdayakan civil society
karena ketergantunagnnya yang besar terhadap sumber dari luar; (3) pers yang
terus ditekan lewat ancaman pencabutanSIUPP; (4) cendekiawan yang mencari aman
dan besarnya gejala sectarian pada diri cendekiawan (5) rakyat yang takut
mengembangkan dirinya pada politik.
Dilihat dari perlindungan (garansi) civil society Nampak jelas
tidak adanya perlindungan bagi pelaku
civil society. Rasa khawatir, takut, dan tidak menentu selalu menghinggapi
pelaku civil society, terutama ketatnya pendekatan keamanan yang sering kali berubah menjadi tindakan,
penekanan, penculikan, bahkan kehilangan manusia oleh Negara.
2. Civil Society pada Era
Reformasi
Secara nasional
landasan untuk munculnya civil society pada era sesudah reformasi sudah
menunjukkan arah ynag benar walaupun belum sempurna. Beberapa tanda kea rah itu
menurut Kutut Suwondo (2005) diantaranya adalah : (1) munculmya undang-undang
pemilu yang member kebebasan untuk membuat partai politik; (2) terbentuknya
forum yang lebih representative (seperti: DPR. DPD, dan MPR); (3) dengan telah
diratifikasinya HAM, upaya untuk menghormati HAM, adanya amandemen UUD 1945,
dan pendekatan keamanan memungkinkan semua pelaku civil society
memperoleh perlindungan hukum; (4) adanya politik nondiskriminasi yang member
kebebasan bagi bekas anggota PKI dan keturunannya untuk menjadi anggota civil
society.
Namun demikian, pada kenyataannya perkembangan civil society tidak
selamanya menunjukkan adanya perkembangan yang menggembirakan. Disatu sisi
kebebasan yang ada sering disalah artikan oleh kelompok masyarakat tertentu
untuk menekan kelompok lain, sehingga dilain pihak kondisi civil society juga
telah menunjukkan track yang salah.
Walaupun gambaran
yang menggembirakan menunjukkan bahwa dominasi Negara (pemerintah) dalam civil society telah jauh berkurang, namun sering
kali dijumpai hal yang tidak menggembirakan, karena yang terjadi aalah dominasi
“pasar” (rejim pasar bebas) dalam pelaksanaan civil society.[5]
C.
KARAKTERISTIK MASYARAKAT MADANI
Penyebutan karakteristik civil
society dimaksudkan untuk menjelaskan, bahwa dalam merealisir wacana civil
society diperlukan prasyarat yang bersifat universal. Prasyarat ini tidak dapat
dipisahkan satu sama lainnya, melainkan satu kesatuan integral yang menjadi
dasar dan nilai bagi eksistensi civil society. Karakteristik tersebut antara
lain adalah free public sphere, demokrasi, toleransi, pluralism,
keadilan,sosial (social justice) dan berkeadaban.
1. Free Public
Sphere (wilayah publik yang bebas).
Yang di
maksud dengan istilah “ free public sphere” adalah adanya ruang public yang
bebas sebagai sarana dalam mengemukakan pendapat. Pada ruang public yang
bebaslah individu dalam posisinya yang setara mampu melakukan
transaksi-transaksi wacana dan praksis politik tanpa mengalami distorsi dan kekhawatiran.
Aksentuasi prasyarat ini dikemukakakan oleh Arendt dan Habermas. Warga Negara
dalam wacana free public sphere memiliki hak penuh dalam setiap kegiatan
politik. Warga Negara berhak melakukan secara merdeka dalam menyampaikan
pendapat, berserikat, berkumpul, serta menerbitkan dan mempublikasikan hal-hal
yang berkaitan dengan kepentingan umum.
Sebagai sebuah prasyarat, maka untuk
mengembangkan dan mewujudkan civil society dalam sebuah tatanan
masyarakat, maka free public sphere menjadi salah bagian yang harus di
perhatikan. Karena dengan mengesampingkan ruang public yang bebas dalam tatana civil
society, akan memungkinkan terjadinya pembungkaman kebebasan warga negara
dalam menyalurkan aspirasinya.
2. . Demokrasi.
Demokrasi adalah prasyarat mutlak
lainnya bagi keberadaan civil society yang murni (genuine). Tanpa demokrasi,
masyarakat sipil tidak mungkin terwujud. Secara umum demokrasi adalah suatu
tatanan social politik yang bersumber dan dilakukan oleh, dari, dan untuk warga
negara.Penekanan
demokrasi (demokratis) disini dapat mencakup sebagai bentuk aspek kehidupan
seperti politik, social, budaya, pendidikan, ekonomi dan sebagainya.
3. Toleransi.
Toleransi adalah sikap saling menghargai dan
menghormati perbedaan pendapat. Lebih dari sikap menghargai pandangan berbeda
orang lain, toleransi, mengacu kepada pandangan Nurcholish Majid, adalah
persoalan ajaran dan kewajiban melaksanakan ajaran itu. Jika toleransi
menghasilkan adanya tata cara pergaulan yang menyenangkan antara berbagai
kelompok yang berbeda-beda, maka hasil itu harus dipahami sebagai hikmah atau
manfaat dari pelaksanaan ajaran yang benar. Senada dengan Majdid, Azra
menyatakan untuk menciptakan kehidupan yang bermoral, masyararakat madani menghajatkan
sikap-sikap toleransi, yakni kesediaan individu-individu untuk menerima beragam
perbedaan pandangan politik di kalangan warga bangsa.
4.
Pluralisme.
Kemajemukan
atau pluralism merupakan prasyarat lain bagi civil society. Namun, prasyarat
ini harus benar-benar di tanggapi dengan tulus ikhlas dari kenyataan yang ada,
karena mungkin dengan adanya perbedaan wawasan akan semakin bertambah.
Kemajemukan dalam pandangan Majdid erat kaitannya dengan sikap penuh pengertian
(toleran) kepada orang lain, yang nyata-nyata diperlukan dalam masyarakat yang
majemuk. Secara teologis, tegas Majdid, kemajemukan social merupakan dekrit
Allah untuk umat manusia.
5.
Keadilan
Sosial.
Keadilan
dimaksudkan untuk menyebutkan keseimbangan dan pembagian yang proporsional
terhadap hak dan kewajiban setiap warga negara dalam semua aspek kehidupan.
Dengan
terciptanya keadilan sosial, akan tercipta masyarakat yang sejahtera seperti
nilai yang terkandung dalam pengertian masyarakat madani. Secara esensial,
masyarakat memiliki hak yang sama dalam memperoleh kebijakan-kebijakan yang di
tetapkan oleh pemerintah (penguasa).
Sangatlah bagus beberapa karakteristik
masyarakat madni di atas, mulai dari free public spere, demokrasi, toleransi,
plurasime, dan keadilan social. Bahwa masyarakat tersebut selain bebas
mengemukakan pendapat juga mempunyai rasa toleran terhadap perbedaan-perbedaan
yang ada. Selain itu juga, mempunyai jiwa keadilan terhadap orang-orang di
sekitar, agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.[6]
KESIMPULAN
1.
Masyarakat madani adalah sebuah kelompok atau tatanan masyarakat
yang berdiri secara mandiri di hadapan penguasa dan negara memiliki ruang
publik ( publik sphere ) dalam mengemukakan pendapat adanya
lembaga-lembaga mandiri yang dapat menyalurkan aspirasi dan kepentingan publik.
2.
Perkembangan konsep civil society , secara perlahan berkaitan
tentang entitas Negara atau masyarakat politik sebagai hasil dari kontrak social
sebagai mana dikembangkan oleh Thomas Hobbes, John Locke, Madanimaupun JJ.
Rousseau. Terkait dengan hal tersebut terdapat beberapa konsep tentang
masyarakat sipil/ civil society terutama terkait hubungannya dengan suatu
Negara sebagai entitas yang otonom.
3.
Karakteristik Civil Society adalah free
public sphere (wilayah public yang bebas), demokrasi, toleransi, pluralisme,
keadilan,sosial (social justice) dan berkeadaban.
DAFTAR
PUSTAKA
Hadiwijoyo, Suryo Sakti. Negara, Demokrasi, dan Civil Society(Yogyakarta
: Graha Ilmu. 2012 )
Suwondo,Kutut. Civil Society Di Aras Lokal (Salatiga :Pustaka
Percik, pustaka, 2005)
[1]
Suryo Sakti Hadiwijoyo, Negara, Demokrasi dan Civil Society (Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2012), hal 73
[2] http://agungsukron99.blogspot.co.id/2013/04/makalah-civil-society-masyarakat-madani.html.
diakses tanggal 19-11-1016
[3] Kutut Suwondo, Civil Society Di Aras Lokal (Salatiga :Pustaka
Percik, pustaka, 2005 ). Hal 13-14
[4] Suryo Sakti Hadiwijoyo, Negara, Demokrasi dan Civil Society
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), hal 84-92
[5] Suryo Sakti Hadiwijoyo, Negara, Demokrasi dan Civil Society
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), hal 92 dan 94
[6] http://agungsukron99.blogspot.co.id/2013/04/makalah-civil-society-masyarakat-madani.html.
diakses tanggal 19-11-1016