Minggu, 13 November 2016

Makalah Hadis Mutawatir & Ahad _ mumajads@blogspot.com



‘’Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad’’

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Pada Mata Kuliah
 Studi Hadis

DosenPengampu:
Surahmat, M.Pd



Disusun Oleh :

            MA’MA MUMAJAD            932135616
            MUTOHAROH                      932135716

JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) KEDIRI
2016

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan banyak bermunculan penelitian tentang kajian keilmuan Islam, terutama dalam ilmu hadits banyak sekali bahasan dalam ilmu hadits yang sangat menarik dan sangat penting untuk dibahas dan dipelajari, terutama masalah ilmu hadits.
Sebagian orang bingung melihat jumlah pembagian hadits yang banyak dan beragam. Tetapi kemudian kebingungan itu menjadi hilang setelah melihat pembagian hadits yang ternyata dilihat dari berbagai tinjauan dan berbagai segi pandangan, bukan hanya segi pandangan saja. Misalnya hadits ditinjau dari segi kuantitas jumlah perawinya, hadits ditinjau dari segi kualitas sanad dan matan.
Untuk mengungkapkan tinjauan pembagian hadits maka pada bahasan ini hanya akan membahas pembagian hadits dari segi kuantitas dan segi kualitas hadits saja.
Hadits dilihat dari segi kuantitas perawinya dibagi menjadi dua, yakni hadis mutawatir dan hadis ahad. 

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Hadis Mutawatir ?
2. Apa pengertian Hadis Ahad?
3. Apa Syarat dan pembagian Hadis Mutawatir?
4. Apa pengertian Hadis Ahad?
5. Apa saja Pembagian Hadis Ahad?

BAB II
PEMBAHASAN
1.      Hadits Mutawatir
a.       Pengertian Hadits Mutawatir
Secara etimologi, kata mutawatir berarti : Mutatabi’ (beriringan tanpa jarak). Dalam terminologi ilmu hadits, ia merupakan haidts yang diriwayatkan oleh orang banyak, dan berdasarkan logika atau kebiasaan, mustahil mereka akan sepakat untuk berdusta. Periwayatan seperti itu terus menerus berlangsung, semenjak thabaqat yang pertama sampai thabaqat yang terakhir.
Dari redaksi lain pengertian mutawatir adalah :
مـَا كَانَ عَنْ مَحْسُوْسٍ أَخْبَرَ بِهِ جَمــَاعَةً بَلـَغُوْا فِى اْلكـَثْرَةِ مَبْلَغـًا تُحِيْلُ اْلعَادَةَ تَوَاطُؤُهُمْ عَلـَى اْلكـَـذِبِ
Hadits yang berdasarkan pada panca indra (dilihar atau didengar) yang diberitakan oleh segolongan orang yang mencapai jumlah banyak yang mustahil menurut tradisi mereka sepakat berbohong.[1]
Ulama mutaqaddimin berbeda pendapat dengan ulama muta’akhirin tentang syarat-syarat hadits mutawatir. Ulama mutaqaddimin berpendapat bahwa hadits mutawatir tidak termasuk dalam pembahasan ilmu isnad al-hadits, karena ilmu ini membicarakan tentang shahih tidaknya suatu khabar, diamalkan atau tidak, adil atau tidak perawinya. Sementara dalam hadits mutawatir masalah tersebut tidak dibicarakan. Jika sudah jelas statusnya sebagai hadits mutawatir, maka wajib diyakini dan diamalkan
b.    Syarat Hadits Mutawatir
1)        Hadits Mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi, dan dapat diyakini bahwa mereka tidak mungkin sepakat untuk berdusta. Ulama berbeda pendapat tentang jumlah minimal perawi. Al-Qadhi Al-Baqilani menetapkan bahwa jumlah perawi hadits mutawatir sekurang- kurangnya 5 orang, alasannya karena jumlah Nabi yang mendapat gelar Ulul Azmi sejumlah 5 orang. Al-Istikhari menetapkan minimal 10 orang, karena 10 itu merupakan awal bilangan banyak. Demikian seterusnya sampai ada yang menetapkan jumlah perawi hadits mutawatir sebanyak 70 orang[2].
2)        Adanya keseimbangan antara perawi pada thabaqat pertama dan thabaqat berikutnya. Keseimbangan jumlah perawi pada setiap thabaqat merupakan salah satu persyaratan[3].
3)        Berdasarkan tanggapan pancaindra
Berita yang disampaikan para perawi harus berdasarkan pancaindera. Artinya, harus benar-benar dari hasil pendengaran atau penglihatan sendiri. Oleh karena itu, apabila berita itu merupakan hasil renungan, pemikiran, atau rangkuman dari suatu peristiwa lain, atau hasil istinbath dari dalil yang lain, maka tidak dapat dikatakan hadits mutawatir.
c.    Pembagian Hadis Mutawatir
Para ulama hadis membagi hadis menjadi hadis mutawatir dalam dua bagian, yakni mutawatir lafdzi dan mutawatir ma’nawi.
Disebut mutawatir lafdzi karena hadis ini di riwayatkan dalam satu redaksi, seperti hadis pertama dalam contoh diatas ( Man Kazaba ‘Alaiya... ). Sedangkan mutawatir ma’nawi ialah hadis mutawatir yang diriwayatkan dengan redaksi berlainan namun memiliki makna sama. Maksudnya para perowi hadis ini dalam menyampaikan peristiwa tertentu menggunakan ungkapan yang tidak sama atau dalam kejadian yang berbeda, namun intinya sama.



a.  Mutawatir Lafzhi dan Contohnya
Mutawatir Lafzhi ialah:
ﻤﺎ ﺘﻭﺍﺘﺭﺕ ﺭﻭﺍﻴﺘﻪ ﻋﻟﻰ ﻠﻓﻅ ﻭﺍﺤﺩ
“Hadits mutawatir lafzhi ialah hadits yang kemutawatiran perawinya masih dalam satu lafal”
Jadi jika ditemukan sejumlah besar perawi hadits berkumpul untuk meriwayatkan dengan berbagai jalan, yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka bersepakat untuk berbuat dusta, maka nilai yang terkandung di dalamnya termasuk “ilmu yakin” artinya meyakinkan bagi kita bahwa hadits tersebut telah di sandarkan kepada yang menyabdakannya, yaitu Rasulullah saw.
Contoh:
ﻤﻥ ﻜﺫﺏ ﻋﻟﻲ ﻤﺘﻌﻤﺩﺍ ﻔﻟﻴﺘﺒﻭﺃ ﻤﻘﻌﺩﻩ ﻤﻥ ﺍﻠﻨﺎﺭ
‘‘Siapa saja yang berbuat kebohongan terhadap diriku, maka tempat duduknya yang layak adalah Neraka’’
Dalam men-sikapi hadits ini, para ahli berbeda-beda dalam memberikan komentar, diantaranya ialah:
- Abu Bakar al-Sairy menyatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh 40 sahabat secara marfu’
- Ibnu Shalkah berpendapat bahwa hadits ini diriwayatkan oleh 62 sahabat, termasuk didalamnya adalah 10 sahabat yang dijamin masuk Surga.
- Ibrahim al-Haraby dan Abu Bakar al-Bazariy berpendapat bahwa hadit ini diriwayatkan oleh 450 sahabat.
 b. Mutawatir Ma’nawiy dan Contohnya
ﻫﻭ ﺍﻥ ﻴﻨﻘﻝ ﺠﻤﺎﻋﺔ ﻴﺴﺘﺤﻴﻝ ﻋﺎﺩﺓ ﺘﻭﺍﻁؤﻫﻡ ﻋﻟﻰ ﺍﻟﻜﺫﺏ ﻭﻗﺎﺌﻊ ﻤﺨﺘﻟﻔﺔ ﺍﺸﺘﺭﻜﺕ ﻓﻰ ﺍﻤﺭ ﻴﺘﻭﺍﺘﺭ ﺫﻟﻙ ﺍﻟﻘﺩﺭ ﺍﻟﻤﺸﺘﺭﻙ                                                  
Hadits Mutawatir ma’nawiy ialah kutipan sekian banyak orang yang menurut adat kebiasaan, mereka mustahil bersepakat dusta atas kejadian-kejadian yang berbeda-beda, tetapi bertemu pada titik persamaan
Maksudnya adalah hadits yang para perwinya berbeda-beda dalam menyusun redaksi pemberitaan, tetapi pada prinsipnya sama.
Contoh:
ﻤﺎ ﺭﻔﻊ ﺼﻟﻰ ﷲ ﻋﻟﻴﻪ ﻭ ﺴﻠﻡ ﻴﺩﻴﻪ ﺤﺘﻰ ﺭؤﻱ ﺒﻴﺎﺽ ﺍﺒﻁﻴﻪ ﻔﻰ ﺸﻴﺊ ﻤﻥ ﺩﻋﺎﺌﻪ ﺍﻻ ﻔﻰ ﺍﻹﺴﺘﺴﻘﺎﺀ                                                         
Rasulullah saw tidak mengangkat ke duatangan beliau dalam berdo’a selain dalam do’a shalat istisqa’ dan beliau sawmmengangkat tangannya tampak putih-putih ke-dua ketiaknya.
ﻜﺎﻥ ﻴﺭﻔﻊ ﻴﺩﻴﻪ ﺤﺫﻭ ﻤﻨﻜﺒﻴﻪ
Ketika beliau saw mengangkat tangan sejajar dengan kedua pundak beliau.

2. HADITS AHAD
Ahad adalah bahasa arab yang berasal dari kata dasar ahad (ﺍﺤﺩ) , artinya satu (ﻭﺍﺤﺩ , atau wahid ), Jadi khabar wahid adalah / suatu habar yang diriwayatkan oleh orang satu. sedang menurut istilah hadits ahad ialah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits mutawatir[4]
Atau berarti:
ﺍﻠﺤﻴﺙ ﺍﻷﺤﺎﺩﻯ ﻫﻭ ﻤﺎ ﻻ ﻴﻨﺘﻬﻰ ﺍﻠﻰ ﺍﻟﺘﻭﺍﺘﺭ                               
     Hadits yang tidak mencapai tingkatan hadits mutawatir.

b. Pembagian hadits ahad
Berdasarkan jumlah rawi dari tiap-tiap thabaqah, Hadits ahad dibagi menjadi 3 macam, yaitu: masyhur, ‘aziz, dan gharib.
a)      Hadits Masyhur 
Hadits Masyhur menurut bahasa, yaitu (al-intisyar wa al-dzuyu’) sesuatu yang sudah tersebar dan populer. Hadits ini dinamakan Masyhur karena telah tersebar luas dikalangan masyarakat. Kemudian maksud dari hadits Masyhur, ialah  :
مَارَوَاهُ الثَّلَاثَةُ فَأَكْثَرَوَلَمْ يَصِلْ دَرَجَةَ التَّوَاتُرِ
“Hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, serta belum mencapai derajat mutawatir.”
Hadits masyhur ini ada yang berstatus shahih, hasan, dan dhaif . Yang dimaksud dengan hadits  masyhur shahih adalah hadits masyhur yang telah memenuhi ketentuan-ketentuan hadits shahih, baik pada sanad maupun matannya, seperti hadits Ibnu ‘Umar:
إِذَاجَاءَأَحَدُكُمُ الْجُمُعَةَ فَلْيَغْتَسِلْ(رواه البخارى
“Bagi siapa yang hendak pergi melaksanakan shalat jum’at, hendaknya ia mandi”. (HR. Bukhari)
Sedangkan yang dimaksud dengan hadits masyhur hasan adalah hadits masyhur yang telah memenuhi ketentuan-ketentuan hadis hasan, baik mengenai sanad maupun matannya, seperti sabda Rasulullah SAW :
لَاضَرَرَوَلَاضِرَارَ
“Jangan melakukan perbuatan yang berbahaya (bagi diri sendiri dan orang lain)”
Kemudian yang dimaksud dengna hadits masyhur dha’if ialah hadits masyhur yang tidak mempunyai syarat-syarat hadits shahih dan hasan, baik sanand maupun matannya, seperti halnya hadis berikut:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌعَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَةٍ
“Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi muslim laki-laki dan perempuan”
b)      Hadits ‘Aziz
‘Aziz berasal dari kata ‘Azza-Ya’izzu yang berarti sedikit atau jarang adanya, dan juga bisa berasal dari kata ‘Azza-Ya’azzu yang berarti kuat.
Sedangkan menurut istilah, Hadits ‘Aziz adalah :
مَارَوَاهُ اِثْنَانِ وَلَوْكَانَ فِى طَبَقَةٍوَاحِدَةٍثُمَّ رَوَاهُ بَعْدَذَلِكَ جَمَاعَةٌ
“Hadits yang diriwayatkan oleh dua orang, sekalipun dua orang ini ditemukan masih dalam satu generasi, kemudian setelah itu ada banyak orang yang sama meriwayatkan”
Contoh hadits ‘aziz:
Hadits yang ditakhrijkan oleh Bukhari dari Anas r.a :
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَايُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى اَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ نَفْسِهِ وَوَالِدِهِ ووَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ
“Rasulullah SAW, bersabda: Tidak sempurna iman salah satu diantara kamu sekalian sampai aku lebih dicintainya daripada ia mencintai dirinya sendiri, orang tuanya, anak-anaknya, dan semua manusia”
c)      Hadits Gharib
Dari segi bahasa kata Gharib berarti sendirian, terisolir jauh dari kerabat, asing, sulit dipahami. Sedangkan dari segi istilah adalah :
مَا تَفَرَّدَبِرِوَايَتِهِ شَخْصٌ وَاحِدٌ فِى أَيَّ مَوْضِعٍ وَقَعَ التَفَرُّدُ بِهِ السَّنَدُ
“Hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkannya, dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi”
Bisa juga dikatakan bahwa hadits Gharib adalah hadis yang periwayatannya dilakukan oleh seorang perawi yang menyendiri tanpa ada orang lain lagi yang meriwayatkannya.[5]




BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas kita dapat menyimpulkan bahwa jika hadist ditinjau dari segi jumlah perawi atau sumber berita, hadist dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu hadist mutawatir dan hadist ahad.
Hadist mutawatir adalah hadist yang diriwayatkan oleh banyak rawi baik dari thabaqat pertama (sahabat) sampai kepada thabaqat yang terakhir (thabi’it thabi’in). Dilihat dari cara periwayatannya, hadist mutawatir dapat dibagi menjadi dua bagian yakni:
1.    Hadist mutawatir lafdzi yaitu Hadis yang mutawatir lafaz dan maknanya.
2.    Hadist mutawatir ma’nawi adalah Hadis yang mutawatir maknanya, bukan lafalnya.
3.    Hadits mutawatir ‘amali adalah Sesuatu yang diketahui dengan mudah bahwa ia dari agama dan telah mutawatir dikalangan umat muslim (orang islam) bahwa Nabi SAW mengajarkannya atau menyuruhnya atau selain itu.
Lawan dari hadits mutawatir adalah hadist ahad  yakni hadist yang dilihat dari perawinya tidak mencapai tingkat mutawatir  atau terkadang mendekati jumlah hadist mutawatir. Berbeda dengan hadist mutawatir, hadist ahad mengalami pencabangan. Pencabangan ini dilatar belakangi oleh jumlah perawi dalam masing-masing thabaqat. Dalam hadist ahad dikenal dengan istilah hadist masyhur, hadist aziz, dan hadist gharib.


DAFTAR PUSTAKA
Khon, Abdul Majid. 2012. Ulumul Hadits, Jakarta: Amzah.
Sugiyono, 2013. Menelaah Hadis 1, Solo: Aqila
A.B, Misbah. 2010. Mutiara Ilmu Hadis. Kediri: Mitra Pesantren.



[1] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, (Jakarta: Amzah, 2012), 146
[2] Ibid. 147.
[3] Sugiyono, Menelaah Hadis 1, (Solo: Aqila 2013), 34.
[4] Misbah A.B, Mutiara Ilmu Hadis (Kediri: Mitra Pesantren, 2010), 207.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Analisis Jurnal yang benar dan Baik By: Mumajad El Basyir

Nama : MA’MA MUMAJAD NIM : 932135616 Mata kuliah : Pengembangan Pendidikan Nonformal/Informal Keagamaan. Instansi.         : Instit...