‘’Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad’’
Disusun Untuk Memenuhi
Salah Satu Tugas Pada
Mata Kuliah
“Studi Hadis”
DosenPengampu:
Surahmat, M.Pd
Disusun Oleh
:
MA’MA
MUMAJAD 932135616
MUTOHAROH 932135716
JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
KEDIRI
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Seiring
perkembangan ilmu pengetahuan banyak bermunculan penelitian tentang kajian
keilmuan Islam, terutama dalam ilmu hadits banyak sekali bahasan dalam ilmu
hadits yang sangat menarik dan sangat penting untuk dibahas dan dipelajari,
terutama masalah ilmu hadits.
Sebagian
orang bingung melihat jumlah pembagian hadits yang banyak dan beragam. Tetapi
kemudian kebingungan itu menjadi hilang setelah melihat pembagian hadits yang
ternyata dilihat dari berbagai tinjauan dan berbagai segi pandangan, bukan
hanya segi pandangan saja. Misalnya hadits ditinjau dari segi kuantitas jumlah
perawinya, hadits ditinjau dari segi kualitas sanad dan matan.
Untuk
mengungkapkan tinjauan pembagian hadits maka pada bahasan ini hanya akan membahas
pembagian hadits dari segi kuantitas dan segi kualitas hadits saja.
Hadits dilihat dari segi kuantitas perawinya
dibagi menjadi dua, yakni hadis mutawatir dan hadis ahad.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Hadis Mutawatir ?
2. Apa pengertian Hadis Ahad?
3. Apa Syarat dan pembagian Hadis Mutawatir?
4. Apa pengertian Hadis Ahad?
5. Apa saja Pembagian Hadis Ahad?
2. Apa pengertian Hadis Ahad?
3. Apa Syarat dan pembagian Hadis Mutawatir?
4. Apa pengertian Hadis Ahad?
5. Apa saja Pembagian Hadis Ahad?
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
1.
Hadits
Mutawatir
a.
Pengertian
Hadits Mutawatir
Secara
etimologi, kata mutawatir berarti : Mutatabi’ (beriringan tanpa jarak). Dalam
terminologi ilmu hadits, ia merupakan haidts yang diriwayatkan oleh orang
banyak, dan berdasarkan logika atau kebiasaan, mustahil mereka akan sepakat
untuk berdusta. Periwayatan seperti itu terus menerus berlangsung, semenjak
thabaqat yang pertama sampai thabaqat yang terakhir.
Dari
redaksi lain pengertian mutawatir adalah :
مـَا كَانَ عَنْ مَحْسُوْسٍ أَخْبَرَ
بِهِ جَمــَاعَةً بَلـَغُوْا فِى اْلكـَثْرَةِ مَبْلَغـًا تُحِيْلُ اْلعَادَةَ
تَوَاطُؤُهُمْ عَلـَى اْلكـَـذِبِ
Hadits yang berdasarkan pada panca indra
(dilihar atau didengar) yang diberitakan oleh segolongan orang yang mencapai
jumlah banyak yang mustahil menurut tradisi mereka sepakat berbohong.[1]
Ulama mutaqaddimin berbeda pendapat dengan ulama
muta’akhirin tentang syarat-syarat hadits mutawatir. Ulama mutaqaddimin
berpendapat bahwa hadits mutawatir tidak termasuk dalam pembahasan ilmu isnad
al-hadits, karena ilmu ini membicarakan tentang shahih tidaknya suatu khabar,
diamalkan atau tidak, adil atau tidak perawinya. Sementara dalam hadits
mutawatir masalah tersebut tidak dibicarakan. Jika sudah jelas statusnya
sebagai hadits mutawatir, maka wajib diyakini dan diamalkan
b. Syarat Hadits Mutawatir
1)
Hadits Mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah
besar perawi, dan dapat diyakini bahwa mereka tidak mungkin sepakat untuk
berdusta. Ulama berbeda pendapat tentang jumlah minimal perawi. Al-Qadhi
Al-Baqilani menetapkan bahwa jumlah perawi hadits mutawatir sekurang- kurangnya 5 orang, alasannya karena jumlah Nabi yang mendapat gelar Ulul
Azmi sejumlah 5 orang. Al-Istikhari menetapkan minimal 10 orang,
karena 10 itu merupakan awal bilangan banyak. Demikian seterusnya sampai ada
yang menetapkan jumlah perawi hadits mutawatir sebanyak 70 orang[2].
2)
Adanya keseimbangan antara perawi pada thabaqat
pertama dan thabaqat berikutnya. Keseimbangan jumlah perawi pada setiap
thabaqat merupakan salah satu persyaratan[3].
3)
Berdasarkan tanggapan pancaindra
Berita yang disampaikan para perawi harus berdasarkan
pancaindera. Artinya, harus benar-benar dari hasil pendengaran atau penglihatan
sendiri. Oleh karena itu, apabila berita itu merupakan hasil renungan,
pemikiran, atau rangkuman dari suatu peristiwa lain, atau hasil istinbath dari
dalil yang lain, maka tidak dapat dikatakan hadits mutawatir.
c.
Pembagian Hadis
Mutawatir
Para ulama hadis membagi hadis
menjadi hadis mutawatir dalam dua bagian, yakni mutawatir lafdzi
dan mutawatir ma’nawi.
Disebut mutawatir lafdzi karena hadis ini di riwayatkan dalam satu
redaksi, seperti hadis pertama dalam contoh diatas ( Man Kazaba ‘Alaiya...
). Sedangkan mutawatir ma’nawi ialah hadis mutawatir yang
diriwayatkan dengan redaksi berlainan namun memiliki makna sama. Maksudnya para
perowi hadis ini dalam menyampaikan peristiwa tertentu menggunakan ungkapan
yang tidak sama atau dalam kejadian yang berbeda, namun intinya sama.
a. Mutawatir Lafzhi dan Contohnya
Mutawatir Lafzhi ialah:
ﻤﺎ ﺘﻭﺍﺘﺭﺕ ﺭﻭﺍﻴﺘﻪ ﻋﻟﻰ ﻠﻓﻅ ﻭﺍﺤﺩ
“Hadits mutawatir lafzhi
ialah hadits yang kemutawatiran perawinya masih dalam satu lafal”
Jadi jika
ditemukan sejumlah besar perawi hadits berkumpul untuk meriwayatkan dengan
berbagai jalan, yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka bersepakat untuk
berbuat dusta, maka nilai yang terkandung di dalamnya termasuk “ilmu yakin”
artinya meyakinkan bagi kita bahwa hadits tersebut telah di sandarkan kepada
yang menyabdakannya, yaitu Rasulullah saw.
Contoh:
ﻤﻥ ﻜﺫﺏ ﻋﻟﻲ ﻤﺘﻌﻤﺩﺍ ﻔﻟﻴﺘﺒﻭﺃ ﻤﻘﻌﺩﻩ ﻤﻥ ﺍﻠﻨﺎﺭ
‘‘Siapa
saja yang berbuat kebohongan terhadap diriku, maka tempat duduknya yang layak
adalah Neraka’’
Dalam
men-sikapi hadits ini, para ahli berbeda-beda dalam memberikan komentar,
diantaranya ialah:
- Abu Bakar al-Sairy
menyatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh 40 sahabat secara marfu’
- Ibnu Shalkah
berpendapat bahwa hadits ini diriwayatkan oleh 62 sahabat, termasuk didalamnya
adalah 10 sahabat yang dijamin masuk Surga.
- Ibrahim al-Haraby dan Abu Bakar al-Bazariy berpendapat bahwa hadit ini
diriwayatkan oleh 450 sahabat.
b. Mutawatir Ma’nawiy dan Contohnya
ﻫﻭ ﺍﻥ ﻴﻨﻘﻝ ﺠﻤﺎﻋﺔ ﻴﺴﺘﺤﻴﻝ ﻋﺎﺩﺓ ﺘﻭﺍﻁؤﻫﻡ ﻋﻟﻰ ﺍﻟﻜﺫﺏ ﻭﻗﺎﺌﻊ ﻤﺨﺘﻟﻔﺔ ﺍﺸﺘﺭﻜﺕ ﻓﻰ
ﺍﻤﺭ ﻴﺘﻭﺍﺘﺭ ﺫﻟﻙ ﺍﻟﻘﺩﺭ ﺍﻟﻤﺸﺘﺭﻙ
Hadits Mutawatir ma’nawiy ialah kutipan sekian
banyak orang yang menurut adat kebiasaan, mereka mustahil bersepakat dusta atas
kejadian-kejadian yang berbeda-beda, tetapi bertemu pada titik persamaan
Maksudnya
adalah hadits yang para perwinya berbeda-beda dalam menyusun redaksi
pemberitaan, tetapi pada prinsipnya sama.
Contoh:
ﻤﺎ ﺭﻔﻊ ﺼﻟﻰ ﷲ ﻋﻟﻴﻪ ﻭ ﺴﻠﻡ ﻴﺩﻴﻪ ﺤﺘﻰ ﺭؤﻱ ﺒﻴﺎﺽ
ﺍﺒﻁﻴﻪ ﻔﻰ ﺸﻴﺊ ﻤﻥ ﺩﻋﺎﺌﻪ ﺍﻻ ﻔﻰ
ﺍﻹﺴﺘﺴﻘﺎﺀ
Rasulullah saw tidak
mengangkat ke duatangan beliau dalam berdo’a selain dalam do’a shalat istisqa’
dan beliau sawmmengangkat tangannya tampak putih-putih ke-dua ketiaknya.
ﻜﺎﻥ ﻴﺭﻔﻊ ﻴﺩﻴﻪ ﺤﺫﻭ ﻤﻨﻜﺒﻴﻪ
Ketika beliau saw
mengangkat tangan sejajar dengan kedua pundak beliau.
2. HADITS
AHAD
Ahad adalah
bahasa arab yang berasal dari kata dasar ahad (ﺍﺤﺩ) , artinya satu (ﻭﺍﺤﺩ , atau wahid ), Jadi khabar wahid
adalah / suatu habar yang diriwayatkan oleh orang
satu. sedang menurut istilah hadits ahad ialah hadits yang tidak
memenuhi syarat-syarat hadits mutawatir[4]
Atau berarti:
ﺍﻠﺤﻴﺙ ﺍﻷﺤﺎﺩﻯ ﻫﻭ ﻤﺎ ﻻ ﻴﻨﺘﻬﻰ ﺍﻠﻰ
ﺍﻟﺘﻭﺍﺘﺭ
Hadits yang tidak
mencapai tingkatan hadits mutawatir.
b. Pembagian hadits ahad
Berdasarkan jumlah rawi dari tiap-tiap thabaqah, Hadits ahad dibagi
menjadi 3 macam, yaitu: masyhur, ‘aziz, dan gharib.
a)
Hadits Masyhur
Hadits Masyhur menurut bahasa, yaitu (al-intisyar wa al-dzuyu’) sesuatu
yang sudah tersebar dan populer. Hadits ini dinamakan Masyhur karena telah
tersebar luas dikalangan masyarakat. Kemudian maksud dari hadits Masyhur, ialah
:
مَارَوَاهُ الثَّلَاثَةُ فَأَكْثَرَوَلَمْ يَصِلْ دَرَجَةَ التَّوَاتُرِ
“Hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, serta belum
mencapai derajat mutawatir.”
Hadits masyhur ini ada yang berstatus shahih, hasan, dan dhaif . Yang
dimaksud dengan hadits masyhur shahih adalah hadits masyhur yang telah
memenuhi ketentuan-ketentuan hadits shahih, baik pada sanad maupun matannya,
seperti hadits Ibnu ‘Umar:
إِذَاجَاءَأَحَدُكُمُ الْجُمُعَةَ فَلْيَغْتَسِلْ(رواه البخارى
“Bagi siapa yang hendak pergi melaksanakan shalat jum’at, hendaknya ia
mandi”. (HR. Bukhari)
Sedangkan yang dimaksud dengan hadits masyhur hasan adalah hadits
masyhur yang telah memenuhi ketentuan-ketentuan hadis hasan, baik mengenai
sanad maupun matannya, seperti sabda Rasulullah SAW :
لَاضَرَرَوَلَاضِرَارَ
“Jangan melakukan perbuatan yang berbahaya (bagi diri sendiri dan orang
lain)”
Kemudian yang dimaksud dengna hadits masyhur dha’if ialah hadits masyhur
yang tidak mempunyai syarat-syarat hadits shahih dan hasan, baik sanand maupun
matannya, seperti halnya hadis berikut:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌعَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَةٍ
“Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi muslim laki-laki dan perempuan”
b)
Hadits ‘Aziz
‘Aziz berasal dari kata ‘Azza-Ya’izzu yang berarti sedikit atau jarang
adanya, dan juga bisa berasal dari kata ‘Azza-Ya’azzu yang berarti kuat.
Sedangkan menurut istilah, Hadits ‘Aziz adalah :
مَارَوَاهُ اِثْنَانِ وَلَوْكَانَ فِى طَبَقَةٍوَاحِدَةٍثُمَّ رَوَاهُ
بَعْدَذَلِكَ جَمَاعَةٌ
“Hadits yang diriwayatkan oleh dua orang, sekalipun dua orang ini
ditemukan masih dalam satu generasi, kemudian setelah itu ada banyak orang yang
sama meriwayatkan”
Contoh hadits ‘aziz:
Hadits yang ditakhrijkan oleh Bukhari dari Anas r.a :
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَايُؤْمِنُ
أَحَدُكُمْ حَتَّى اَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ نَفْسِهِ وَوَالِدِهِ ووَلَدِهِ
وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ
“Rasulullah SAW, bersabda: Tidak sempurna iman salah satu diantara kamu
sekalian sampai aku lebih dicintainya daripada ia mencintai dirinya sendiri,
orang tuanya, anak-anaknya, dan semua manusia”
c)
Hadits Gharib
Dari segi bahasa kata Gharib berarti sendirian, terisolir jauh dari
kerabat, asing, sulit dipahami. Sedangkan dari segi istilah adalah :
مَا تَفَرَّدَبِرِوَايَتِهِ شَخْصٌ وَاحِدٌ فِى أَيَّ مَوْضِعٍ وَقَعَ
التَفَرُّدُ بِهِ السَّنَدُ
“Hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam
meriwayatkannya, dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi”
Bisa juga dikatakan bahwa hadits Gharib adalah hadis yang periwayatannya
dilakukan oleh seorang perawi yang menyendiri tanpa ada orang lain lagi yang
meriwayatkannya.[5]
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas kita dapat menyimpulkan bahwa jika hadist
ditinjau dari segi jumlah perawi atau sumber berita, hadist dapat dibagi
menjadi dua bagian yaitu hadist mutawatir dan hadist ahad.
Hadist mutawatir adalah hadist yang diriwayatkan oleh banyak rawi baik
dari thabaqat pertama (sahabat) sampai kepada thabaqat yang terakhir (thabi’it
thabi’in). Dilihat dari cara periwayatannya, hadist mutawatir dapat dibagi
menjadi dua bagian yakni:
1.
Hadist mutawatir lafdzi yaitu Hadis yang mutawatir lafaz dan maknanya.
2.
Hadist mutawatir ma’nawi adalah Hadis yang mutawatir maknanya, bukan
lafalnya.
3.
Hadits mutawatir ‘amali adalah Sesuatu yang diketahui dengan mudah bahwa
ia dari agama dan telah mutawatir dikalangan umat muslim (orang islam) bahwa
Nabi SAW mengajarkannya atau menyuruhnya atau selain itu.
Lawan dari hadits mutawatir adalah hadist ahad yakni hadist yang
dilihat dari perawinya tidak mencapai tingkat mutawatir atau terkadang
mendekati jumlah hadist mutawatir. Berbeda dengan hadist mutawatir, hadist ahad
mengalami pencabangan. Pencabangan ini dilatar belakangi oleh jumlah perawi
dalam masing-masing thabaqat. Dalam hadist ahad dikenal dengan istilah hadist
masyhur, hadist aziz, dan hadist gharib.
DAFTAR PUSTAKA
Khon, Abdul Majid. 2012. Ulumul Hadits, Jakarta: Amzah.
Sugiyono, 2013. Menelaah Hadis 1, Solo:
Aqila
A.B, Misbah. 2010. Mutiara Ilmu Hadis. Kediri:
Mitra Pesantren.
http://uinkediri.blogspot.co.id/2014/12/contoh-makalah-hadis-mutawatir-dan-ahad.html Diakses pada tanggal 24 Oktober 2016. 11:11
WIB.
[5] http://uinkediri.blogspot.co.id/2014/12/contoh-makalah-hadis-mutawatir-dan-ahad.html Diakses pada tanggal 24 Oktober 2016. 11.11 Wib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar